Ijtihad dalam Sudut Pandang Al-Dihlawi (1)

Menurut al-Dihlawi, pengerahan kemampuan dalam menemukan hukum dapat dilakukan meskipun hukum tersebut sudah difatwakan oleh ulama terdahulu

· 4 menit untuk membaca
Ijtihad dalam Sudut Pandang Al-Dihlawi (1)

“Mengerahkan kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syariat yang bersifat cabang (al-far’iyah) dari dalil-dalil yang terperinci, dan kesemuanya dikembalikan kepada empat bagian yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan Qiyas.” Al-Dihlawi

Jika dikomparasikan dengan para usuliyun (masa) sebelumnya, pengertian ijtihad Shah Wali Allah al-Dihlawi tidak banyak mengandung perbedaan. Seperti pandangan al-Ghazali dan al-Amidi dari kalangan Syafi’iyah, al-Shawkani dari kalangan Zaydiyah, Ibn Hazm al-Andalusi dari golongan Zahiriyah, ataupun Ibn Humam dari kalangan madzhab Hanafi.

Menurut al-Dihlawi, pengerahan kemampuan dalam menemukan hukum dapat dilakukan meskipun hukum tersebut sudah difatwakan oleh ulama terdahulu atau belum; juga apakah hukum tersebut bertentangan atau bersesuaian dengan produk ijtihad yang telah ada. Demikian juga interpretasi tentang pengerahan kemampuan dalam pencarian hukum. Apa yang dikatakan secara implisit oleh al-Dihlawi ketika mengkritik dan membantah pendapat bahwa masalah-masalah yang dibahas oleh beberapa ahli hukum Islam seandainya sesuai dengan para pendahulunya atau gurunya bukanlah mujtahid.

Mafhum, bahwa shah Wali Allah al-Dihlawi sangat teguh dalam berpegang teguh terhadap sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas, walaupun sebenarnya ijtihad adalah ranah logika. Menurutnya, sebenarnya ilmu syariat itu ada tiga. Pertama adalah al-Qur’an. Kerena itu, bagi seseorang yang ingin mengetahui hukum-hukum Allah, wajib mengetahui asbabunnuzul, muhkam, mutasyabih, gharib al-Qur’an, nasikh dan mansukh. Sedangkan hukum mutasyabih adalah tawaquf atau dikembalikan kepada muhkam.

Kedua adalah al-Sunah, yang di dalamnya mengandung syariat Islam tentang ibadah dan irtifaqat (ajaran yang mengatur hubungan sesama manusia dan makhluk lain). Ketiga, al-faridha al-adilah (sebuah aturan-aturan yang dapat menjamin keadilah antar sesama). Dengan demikian, untuk memahami hukum-hukum Allah, menurut al-Dihlawi, ada dua cara, yaitu: pertama, dengan dalil naqli (al-Qur’an dan al-Sunah) dan kedua dengan istinbat al-Ahkam.

Hal ini kemudian diderivasikan menjadi beberapa syarat ijtihad, yaitu mengetahui al-Qur’an dan Hadis (khas, am, mujmal, mubayan, nasikh, mansukh, mutawatir, ahad, mutasil, mursal, dan keadaan perawi hadis) yang berhubungan dengan hukum, ilmu logika, dan mengetahui pendapat-pendapat ulama pada masa sahabat (dan sesudahnya), pun juga masalah yang diperselisihkan (dan disepakati) oleh para fukaha, serta macam-macam kiyas.

Dengan besarnya perhatian al-Dihlawi terhadap ijtihad dan syarat-syaratnya, ia akhirnya mengekspresikan, dalam beberapa pembagian mujtahid, sebagai pelaku ijtihad. Menurutnya, mujtahid ada dua. Pertama, Mujtahid Mutlak yang terbagi lagi menjadi dua macam: mujtahid mutlak mustaqil dan mujtahid mutlak muntasib.

Mujtahid mutlak mustaqil adalah orang yang mempunyai dasar-dasar sendiri dalam membangun ijtihadnya. Bahkan, dia juga harus dapat meneliti beberapa ayat, hadis, dan atsar untuk mengetahui hukum yang memerlukan jawaban. Dia pula harus dapat menjawab beberapa masalah hukum yang belum ada jawabannya. Sedangkan mujtahid mutlak muntasib, ialah orang yang mengikuti dasar-dasar ijtihad imamnya.

Sedangkan jenis mujtahid yang kedua adalah mujtahid fi al-madhab, yaitu orang yang bertaklid terhadap mazhab imamnya.

Karena itu, untuk menjembatani antara orang-orang yang mampu memahami al-Qur’an dan al-Sunah sebagai sumber ajaran Islam dengan orang-orang awam sebagai keniscayaan–era dimana al-Dihlawi hidup dihadapkan kepada krisis multidimensi dalam diri umat Islam–Ia tidak ragu-ragu untuk berfatwa bahwa bertaklid bagi orang awam adalah merupakan solusi. Ini menjadi kesepakatan para ulama bagi orang-orang yang tidak mampu ijtihad.

Hal ini juga diikuti dengan beberapa praktik yang terjadi di kalangan muslim pada waktu itu. Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah salat subuh dekat makam abu Hanifah tanpa membaca qunut karena ingin menghormatinya. Demikian juga, ketika orang yang tidak mempunyai pengetahuan agama sama sekali, ketika menghadapi masalah hukum– dan seandainya terjadi pertentangan antara fatwa ulama atau fukaha dengan kadi–menurut al-Dihlawi, mereka harus mengikuti pendapat atau ketetapan kadi dengan meninggalkan pendapat fukaha.

Al-Dihlawi juga banyak mengupas tentang beberapa prinsip maslahat yang harus dijadikan pijakan bagi setiap orang yang ingin melakukan ijtihad (al-qawaid al-kuliyah allati yastanbitu minha al-masalih al-mura’iyah fi al-ahkam al-Syar’iyah).

Di antara prinsip tersebut ialah, dalam kajian tentang sebab-sebab taklif atau pembebanan kepada mukalaf, terdapat tujuan kebahagiaan manusia, balasan terhadap amal yang dilakukan ketika hidup dunia dan akhirat, tentang kasih sayang, prinsip kebahagiaan, prinsip kebaikan dan dosa, prinsip al-siyasat al-miliyah. Semua prinsip tersebut dijadikan pedoman dalam rangka menggali rahasia hukum yang ditetapkan Allah swt melalui Rasul-Nya saw.

Syahdan, dalam kajian tentang filosofi sebab-sebab taklif atau pembebanan kepada mukalaf yang di dalamnya terdapat tujuan kebahagiaan manusia, al-Dihlawi mengeksplorasi beberapa rahasia hukum dan hikmah taklif. Menurut al-Dihlawi, salat disyariatkan untuk mengingat Allah; puasa untuk mengekang hawa nafsu; dan haji untuk untuk mengagungkan syiar Islam.

Demikian juga dengan hukum kisas. Kisas diterapkan dalam rangka memberi pelajaran bagi pelaku kejahatan; jihad untuk meninggikan kalimat Allah; dan hukum-hukum muamalat di syariatkan untuk menegakkan keadilan dalam interaksi sosial kemanusiaan. Dari beberapa hikmah hukum Islam ini, al-Dihlawi berpendapat bahwa beberapa hukum selalu mempunyai ilat kemaslahatan bagi manusia.

Jelas, konsep ijtihad al-Dihlawi tersebut menunjukkan sikap keterbukaan dalam ijtihad dengan memberikan beberapa akomodasi dan adaptasi terhadap perkembangan hukum Islam. Ditambah lagi, anjuran al-Dihlawi agar ijtihad senantiasa dilakukan dalam rangka mencari solusi hukum Islam terhadap permasalahan yang timbul. Yaitu, dengan menyalahkan pendapat seseorang yang mengatakan bahwa ijtihad telah tertutup, atau pendapat yang menyatakan, pada zaman ini, sudah tidak ditemukan lagi seorang mujtahid.

Sekilas tentang al-Dihlawi

Shah Wali Allah al-Dihlawi adalah seorang intelektual Muslim India Terkemuka abad-18. Riwayat hidup dan anekdot yang berhubungan dengan kehidupan keluarganya dapat ditemukan dalam autobiografi ringkasnya dalam bahasa Parsi, al-Juz al-Latif fi tarjamah Abd al Dha’if, dan dalam tulisannya, Anfas al-Arifin.

Dalam struktur keilmuan fikih, al-Dihlawi adalah seorang ilmuwan, mujtahid muntasib fi al-Madzhab kepada Imam Syafi’i (ada yang berpendapat identik dengan mazhab Maliki, karena pendalamannya pada kitab al-Muwattha’). Terkadang banyak yang menilainya sebagai seorang mujtahid mustaqil. Pendapat ini didasarkan pada penilaian terhadap beberapa karya al-Dihlawi dalam berbagai disiplin ilmu.

Tak hanya itu, sebagai seorang intelektual Muslim, rupa-rupanya ia juga penulis produktif dalam berbagai topik tentang Islam. Al-Dihlawi menuangkan buah pikirnya dalam bahasa Persia dan Arab. Ia menulis dalam berbagai disiplin ilmu, mulai al-Qur’an, hadits, tarikh, fikih, usul fikih, tasawuf, filsafat dan lainnya. Karya-karyanya sering dicirikan dengan pendekatan historis dan sistematis.


Baca juga tulisan lain terkait kajian dan artikel menarik lainnya dari Salman Akif Faylasuf

Related Articles

Firkah Non-Aswaja: Hizb al-Tahrir
· 3 menit untuk membaca
Firkah Non-Aswaja: Hizb al-Ikhwan
· 5 menit untuk membaca
Serial Aswaja (2): Mazhab-Mazhab Ahusunnah Waljamaah
· 6 menit untuk membaca