Ilmu yang Bermanfaat, Rida Guru, dan Husnuzan Murid

Ilmu yang tidak bermanfaat adalah momok bagi semua murid (santri). Saking bahayanya, Nabi Muhammad pun sampai berdoa, "Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tak bermanfaat."

· 2 menit untuk membaca
Sumber: alazhar.id
Sumber: alazhar.id 

Ilmu yang tidak bermanfaat adalah momok bagi semua murid (santri); meskipun masing-masing individu berbeda dalam memaknai ilmu yang bermanfaat. Bahkan Nabi Muhammad Saw. berdoa kepada Allah supaya dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat.

اللّهم اني اعوذ بك من علم لا ينفع

“Ya Allah, aku berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat.”

Imam al-Ghazali mendefinisikan ilmu yang bermanfaat sebagai ilmu yang membuahkan ketaatan terhadap perintah Allah dan mencegah bermaksiat kepada-Nya. Jika kita mengacu pada definisi tersebut, maka akan kita peroleh satu simpulan. Apa pun ilmunya, jika itu tidak membuat pemiliknya semakin mendekatkan diri kepada Allah, maka tidak bisa disebut sebagai ilmu yang bermanfaat.

Menggapai taraf  ilmu yang bermanfaat tentu tidaklah mudah; membutuhkan banyak usaha, pastinya. Adapun jalan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menurut Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki adalah dengan mendapat rida dari syekh atau guru.

ثبات العلم بالمذاكرة، وبركته بالخدمة، ونفعه برضا الشيخ
“Tetapnya ilmu dengan mengulang-ulang (mutalaah), berkahnya ilmu sebab berkhidmah dan manfaatnya ilmu sebab rida guru.”

Dawuh Sayyid Alawi tersebut menginspirasi para murid (santri) untuk senantiasa memburu rida dari guru. Salah satu cara untuk menjaga rida guru adalah dengan menjaga tata krama lahiriyah maupun batiniyah. Sudah sepatutnya bagi para penuntut ilmu untuk bersikap baik dan sopan terhadap guru. Namun, ada satu pertanyaan yang mengganjal di benak penulis akhir-akhir ini. Bagaimana ketika murid sudah menjaga tata krama terhadap guru, tetapi, kesalahpahaman guru terhadap murid tidak bisa dielakkan? Lalu, apakah kemanfaatan ilmunya terhalangi sebab kemurkaan guru yang disebabkan oleh kesalahpahaman?

“Yang memberi ilmu manfaat itu Allah. Kalau gurumu tidak rida karena kesalahpahamannya terhadapmu, itu tidak akan menghalangi kemanfaatan ilmumu. Guru juga manusia. Wajar bila terjadi salah paham seperti ini.”

Tiba-tiba ingatan penulis jatuh pada kalimat di atas. Kalimat bijak tersebut penulis dengar dari seseorang yang menghibur santri baru; yang tak hentinya menangis karena mengetahui gurunya marah kepada santri tersebut, karena tidak hadir di kelas gurunya sebab suatu alasan.

Jujur saja, kita ini terlalu sering mengkultuskan seseorang. Dampaknya, ketika kita melihat sesuatu yang kurang pas menurut kacamata kita dilakukan oleh seseorang tersebut, kita akan otomatis mengkritik dan memandang sinis karena tidak sesuai dengan ekspektasi. Dalam 'kasus' kesalahpahaman guru ini, yang harus diingat oleh para murid adalah, bagaimanapun juga, guru bukanlah sosok yang maksum; yang jelas berpotensi salah dan lupa. Kesadaran tersebut harusnya dapat membuat kita, para murid, memaklumi sifat manusiawi yang melekat pada diri guru.

Jika direnungkan, mengetahui kekurangan guru adalah sebuah ujian yang berat bagi para penuntut ilmu. Sebab, mengetahui kekurangan guru akan mengurangi rasa hormat murid terhadap guru. Imam Nawawi dalam kitab at-Thibyan fi Adabi Hamalati al-Qur’an mengajarkan doa supaya kita terhindar dari mengetahui aib seorang guru.

اَللَّهُمَّ اسْتُرْ عَيْبَ مُعَلِّمِي عَنِّي وَلَا تُذْهِبْ بَرَكَةَ عِلْمِهِ مِنِّي

Pada kesempatan yang lain penulis juga mendengar dari seorang kawan bahwa, guru sejati adalah guru yang rida terhadap muridnya. Lantas, apakah sang murid akan tetap berburuk sangka terhadap gurunya atas ketidakridaan guru terhadapnya?

Keadaan ini akan membuat murid merasa tertekan serta terjebak dalam gejolak batin yang rumit. Maka, sabar dan tetap berbaik sangka adalah sikap yang tepat untuk diambil oleh seorang murid yang sedang diberi ujian ini. Karena sabar terhadap kesalahan guru adalah termasuk adab murid terhadap gurunya. Begitu pula selalu berbaik sangka.

Akhirul kalam, semoga Allah menutupi aib guru-guru kita dari mata-mata kita; sehingga kita tidak melihat kekurangan pada diri guru-guru kita. Pun jangan sampai ada seorang pun yang memberitahukan aib guru kita sehingga mengurangi rasa hormat kita kepada mereka, dan semoga Allah tidak menghilangkan keberkahan ilmu mereka dari kita.


Baca juga opini lainnya atau artikel lain tentang adab.

Related Articles

Sekotak Susu “Punya Mama”
· 3 menit untuk membaca
Menolak Taklid Buta kepada Influencer
· 3 menit untuk membaca
Tahun Baru (2023): Harapan VS. Dosa-Dosa Masa Lalu
· 2 menit untuk membaca
#Womansupportwoman yang Disalahpahami
· 4 menit untuk membaca
Barokah dan Dilema Santri yang Takut Kualat
· 2 menit untuk membaca