Merindu Gus Dur: Pentingnya Nalar Kritis dalam Bermedia Sosial

Melalui pemikiran-pemikiran Gus Dur, kita dapat belajar mendayagunakan nalar secara kritis ketika bermedia sosial.

· 3 menit untuk membaca
Merindu Gus Dur: Pentingnya Nalar Kritis dalam Bermedia Sosial

K.H. Abdur Rahman Wahid adalah tokoh yang sangat menarik dan unik. Bukan hanya karena ia pernah menjadi presiden yang sangat kontroversial atau karena cucu dari pendiri organisasi keagamaan terbesar di Indonesia.

Gus Dur—demikian orang-orang menyapanya, beliau terkesan menarik dan unik tak lain adalah karena pemikiran dan pandangannya yang selalu aktual dengan konteks keindonesiaan. Tak heran jika hingga kini, pemikiran dan pandangannya selalu menjadi tema diskusi. Mulai dari obrolan atau diskusi santai di warung kopi hingga obrolan serius di ruang akademisi. Tak dipungkiri banyak karya-karya bahkan ratusan karya yang lahir dari pandangan dan pemikiran Gus Dur.

Pandangan dan pemikiran Gus Dur tentang konsep pribumisasi Islam, modernisasi pesantren dan tema-tema lain terkait agama, kebudayaan, dan tata nilai menjadi tema diskusi hampir di setiap perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta. Tak akan ada habisnya bicara sosok kiai “nyentrik” yang sangat dikenal celetukannya “gitu aja ko repot” dan penulis buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (2014) ini.

Bagi penulis, salah satu pandangan dan pemikiran Gus Dur yang masih sangat relevan dan aktual dengan kondisi generasi muda milenial Islam yang menyebut dirinya hidup di era evolusi industri 4.0 adalah kritik Gus Dur atas cara pandang beragama kita. Diakui atau tidak, bahwa cara dan sikap beragama kita akhir-akhir ini lebih pada sikap ogah, nyinyir, bahkan ada yang menyebut belum mendapat hidayah untuk mereka yang bukan menjadi bagiannya.

Kritik tersebut misalnya, kita bisa membaca di salah satu makalah yang ditulis pada tahun 1986 dengan judul, “Generasi Muda Islam dan Masa Depan Bangsa Indonesia”. Dalam makalah ini, Gus Dur menyebut generasi muda Islam masih berwatak sektarian yang belum mampu melepaskan diri dari belitan kelompok dan golongan mereka. Generasi muda Islam, juga dianggap belum mampu menemukan wajah asli Islam Indonesia.

Kalau kita tarik kritik Gus Dur di atas pada fenomena yang terjadi di tengah-tengah kita akhir-akhir ini adalah semangat dan gairah generasi muda Islam dalam mendalami dan menampilkan tema-tema keislaman. Obrolan generasi muda Islam yang muncul di ruang publik, terutama media sosial tak jauh dari tema-tema keislaman. Hal ini misalnya, kita bisa membaca dari booming-nya postingan di jejaring media sosial kita seperti, Facebook, Youtube, Twitter, hingga aplikasi layanan pesan gratis seperti WhatsApps.

Melalui media sosial ini, kita juga bisa menemukan narasi-narasi keagamaan lewat ceramah pendek atau video singkat para “ustadz seleb” yang kerap kali muncul di akun media sosial kita. Dan sekali lagi, obrolan yang terekam masih di sekitaran diksi, apa yang oleh Gus Dur, disebut dalam bukunya sebagai “Islamku”, “Islam Anda”, “Islam Kita” atau “golonganku”, “golonganmu” dan “golongan kita” yang lain No (Tidak).

Semangat mendalami dan berkegiatan keagamaan Islam memang sangat baik, bahkan sangat dianjurkan dalam Islam itu sendiri. Akan tetapi, bila secara bersamaan juga memperlihatkan watak lain misalnya, membatasi diri dari golongan lain, yang berbeda baik aliran, mazhab sesama muslim, ini tentu tak baik dan tak dianjurkan oleh agama Islam.

Banyak dari generasi muda Islam memandang Islam lain di luar golongan mereka, sebagai penganut Islam dengan embel-embel munafik, murtad, dan kafir. Mengatakan keberislaman orang lain yang berbeda pemahaman keagamaan mereka dengan sebutan “munafik, murtad dan kafir” tentu kurang etis, baik secara teologis maupun sosiologis.

Pada akhirnya, melihat besarnya antusiasme generasi muda Islam zaman now mendalami Islam, penting kiranya juga diimbangi dengan nalar kritis keagamaan di media sosial. Sebab, tanpa nalar kritis dalam meyakini sebuah doktrin keagamaan, akan sangat mungkin bagi generasi muda milenial Islam terjebak pada pemahaman keagamaan yang kaku dan sempit.

Selain itu, tujuan akhir dari nalar kritis beragama di media sosial, bukan semata-mata untuk menangkal paham-paham ideologi radikal atau ekstrimisme kekerasan berbasis agama. Melainkan agar generasi muda milenial Islam di negeri ini tak gaduh di dunia virtual yang berimbas pada realitas nyata, terutama dalam kaitannya dengan pemahaman agama supaya menjadi manusia utuh, mendalam, ramah, santun, dan meningkatkan intensitas interaksi dengan dunia nyata, bukan justru merusaknya melalui dunia virtual.

Lalu, agar generasi milenial Islam tak mudah terpancing emosi, mengolok-olok, dan tak mudah menyebarkan narasi kebencian, maka sejatinya media sosial harus menampilkan konten dengan wajah Islam yang lembut, tak berwatak sektarian, santun dan bukan wajah Islam yang asal sebut dan apalagi Islam yang kalang kabut.

Penulis: Abdur Rohman An Nakhrowi