Nyai Ma’munatun Kholil: Mata Air Keteladanan

Nyai Ma’munatun matur pada suaminya, “kula mboten pengin gelang gedi-gedi, sing penting anake sami saget ngaji.” Beliau tirakat agar anak-anaknya bisa pergi mondok.

· 8 menit untuk membaca
Nyai Ma'munatun Kholil (kiri) bersama Gus Mus (kanan). Sumber gambar: Facebook: Roudlotut Thullab Channel
Nyai Ma'munatun Kholil (kiri) bersama Gus Mus (kanan). Sumber gambar: Facebook: Roudlotut Thullab Channel

Suatu hari pada masa Indonesia belum merdeka, seorang pemuda asal Demak sowan kepada Kiai Kholil Harun. Pemuda bernama Mahfudz itu bermaksud untuk meguru kepada Kiai Kholil yang terkenal kealimannya. Beliau ahli ilmu alat (nahwu, balaghoh, dll.) dan ahli fiqh. Setelah menerima Mahfudz, Kiai Kholil menemui istrinya, Nyai Masfiatun. Beliau ngendika, “bocah kuwi mau sesuk dadi mantumu.” Tentu saja Nyai Masfiatun kaget, belum lagi ia punya anak perempuan, kecuali putri-putri Kiai Kholil dari istri sebelumnya, suaminya sudah berkabar demikian.

Kiai Kholil Harun adalah kiai berilmu tinggi yang ahli riyadloh. Santri-santri  yang beliau didik di kemudian hari menjadi kiai-kiai besar. Di antaranya adalah Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Kiai Mahrus Lirboyo, Kiai Bisri Syansuri Tayu, Kiai Bisri Mustofa Rembang, dan bertabur banyak kiai Jawa yang pernah ngangsu kawruh pada Kiai Kholil. Pesantren beliau di Kasingan, Rembang, pada masa puncaknya dipenuhi oleh lebih dari 2000 santri, yang tersebar dari berbagai daerah di Indonesia.

Pernikahan terakhirnya dengan Nyai Masfiatun, dikaruniai tiga orang anak yakni Ma’mun, Ma’munatun, dan Sofwah. Saat itu, Kiai Kholil usianya sudah sangat senja, sementara istrinya masih cukup muda. Merasa waktu beliau hampir habis, sementara anak-anak Nyai Masfiatun masih sangat kecil, beliau ingin memastikan anak-anaknya kelak terdidik dengan baik. Ma’munatun, sebagai anak perempuan yang kelak akses pendidikannya akan sangat terbatas di masanya, akhirnya dinikahkan dengan santrinya asal Demak, Mahfudz. Ketika itu, usia Ma’munatun masih balita. Tidak lama kemudian, Kiai Kholil pun dipanggil ke hadirat Allah. Pilihan arif Kiai Kholil mungkin sulit dipahami dalam konteks masa kini. Tapi Kiai Kholil bisa menilai kualitas pribadi santri yang ia pilih untuk nampadawuh.

Mengeja Huruf sampai Mengaji Al-Ibriz

Ma’munatun lahir pada 1937, dinikahkan ketika masih kecil, dan tidak lama kemudian menjadi yatim. Kehidupan Ma’munatun kecil dihabiskan bersama suaminya, Kiai Mahfudz. Mereka tinggal di ndalem Kasingan, Rembang. Kiai Mahfudz begitu telaten merawat dan mendidik Ma’munatun kecil. Jika waktu mengaji tiba dan Ma’munatun masih asyik bermain pasir, Kiai Mahfudz pun menggendongnya, membersihkan badannya, dan membawanya menghadap dampar bersama teman-temannya. Pengajian tidak akan dimulai sampai Ma’munatun kecil datang. Di tangan Kiai Mahfudz, Ma’munatun ditempa mulai ngaji alif-ba’-ta’ sampai ngaji Alfiyah ibn Malik.

Mulanya yang ia ketahui, Kiai Mahfudz adalah kakaknya. Hingga mencapai usia remaja, Ma’munatun baru memahami bahwa Kiai Mahfudz itu suaminya. Ma’munatun sempat dibawa pulang ke Demak. Tapi keakraban mereka pun akhirnya merenggang, perasaan Ma’munatun  menjadi janggal. Kiai Mahfudz yang merawat dan mendidik Ma’munatun sejak kecil hingga remaja akhirnya juga merasa hubungan itu tidak bisa dilanjutkan. Kasih sayangnya yang tulus terhadap putri gurunya itu tidak lagi sebangun dengan ikatan pernikahan. Dawuh gurunya untuk mendidik Ma’munatun purna sudah. Mereka pun akhirnya berpisah secara baik-baik. Ma’munatun kembali ke Kasingan.

Lepas dari didikan Kiai Mahfudz, Ma’munatun yang masih berusia 16 tahun itu mengaji dengan Kiai Bisri Mustofa yang tidak lain adalah kakak iparnya, suami dari saudari lil ab-nya, Nyai Ma’rufah Kholil. Beliau melanjutkan jalan juang Kiai Kholil di pesantren Roudlotut Tholibin, Rembang. Salah satu yang beliau ajarkan ialah tafsir Al-Quran. Ketika mengajar, Kiai Bisri tidak hanya membacakan, melainkan juga menuliskan maknanya kata per kata dengan huruf pegon. Tulisan Kiai Bisri ketika mengajar Ma’munatun dan teman-temannya kelak menjadi kitab yang luar biasa masyhur berjudul Tafsir Al-Ibriz.

Selain mengaji, Ma’munatun juga bisa membaca latin dan Jawa berkat ajaran kakaknya, Kiai Ma’mun Kholil. Dibesarkan dalam budaya keilmuan pesantren yang ulet, tumbuh dalam hati Ma’munatun perasaan cinta yang kuat pada ilmu dan ulama. Karakter ini terus melekat di dalam dirinya, meski saat itu akses pendidikan perempuan benar-benar terbatas.

Kiai Bisri Mustofa  sangat produktif menulis mensyarahi kitab-kitab kuning dengan tulisan pegon Jawa. Pada beberapa kali kesempatan, seorang tamu, santri dari Kiai Baidlowi Lasem  rajin sowan kepada Kiai Bisri. Tamu ini bernama Asrori Ahmad asal Tempuran, Magelang. Melihat kesungguhan Asrori muda, Kiai Bisri hendak menikahkannya dengan Ma’munatun. Saat silaturrahim ke Magelang, Kiai Ahmad, bapaknya Asrori muda, menyambut kedatangan Kiai Bisri dengan suka cita. Kiai Bisri diaturi pinarak di atas amben bambu yang sudah lapuk sementara yang lain duduk di bawah. Tak dinyana, amben bambu itu tiba-tiba ambrol. Kiai Ahmad bingung bukan kepalang dan merasa sangat malu. Ia bertanya pada Kiai Bisri petanda apakah ini. Kiai Bisri menjawab bahwa ini tanda rembug harus dilanjutkan.

Pindah ke Dusun Wonosari

Asrori dan Ma’munatun akhirnya menikah dan menjadi sepasang kiai dan bunyai muda yang siap menebar manfaat bagi sesama. Kehadiran Nyai Ma’munatun di dusun Wonosari, Magelang, dimanfaatkan dengan baik oleh Kiai Ahmad. Ia mengutus menantunya itu untuk melanjutkan pengajarannya terhadap santri-santri putri. Santri putri saat itu adalah anak-anak kampung setempat. Nyai Ma’munatun mengajar Al-Quran dan fasholatan. Lambat laun, semakin banyak santri putri yang datang dari luar kampung untuk mengaji. Sebagian ada yang tinggal di ndalem, sebagian datang sore mengaji sampai malam lalu pulang pada pagi hari. Selanjutnya Nyai Ma’munatun juga mengajar kitab-kitab dasar. Sementara itu, Kiai Asrori dengan telaten mengajar ngaji santri-santri putra. Pesantren itu lalu dinamai Pondok Pesantren Roudlotut Thullab.

Pindah dari keluarga sederhana dan tanpa ayah di Rembang, Nyai Ma’munatun datang ke Wonosari, Magelang, sebuah dusun tanpa aspal dan listrik. Di tengah keterbatasan itu, Nyai Ma’munatun membesarkan anak-anaknya dengan gigih. Kiai Asrori selain tekun mengajar, juga mengikuti jejak Kiai Bisri Mustofa menulis terjemah kitab. Di antara kitab terjemahan beliau adalah; Nur al-Duja fi Tarjamah Safinat al-Naja, Tashil al-Rafiq fi tarjamati Sullam al-Yaufiq, Tarjamah Riyadl al-Shalihin, dan masih banyak lainnya. Ada sekitar lebih dari 70 judul yang beliau hasilkan. Karya-karya suami Nyai Ma’munatun ini lintas keilmuan mulai dari fiqh, hadits, akhlak, tauhid, dan sebagainya. Kitab-kitab tersebut diterbitkan oleh beberapa penerbit kitab kenamaan.

Kehidupan keluarga Nyai Ma’munatun jauh dari ingar bingar kemewahan. Hidup dengan 8 putra-putri membuat Nyai ma’munatun sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Nyai Ma’munatun matur pada suaminya, “kula mboten pengin gelang gedi-gedi, sing penting anake sami saget ngaji.” Beliau tirakat agar anak-anaknya bisa pergi mondok. Putra-putrinya tersebar berangkat mondok ke Purworejo, Rembang, Kediri, Malang, hingga ke Mekkah. Padahal saat putra sulungnya berangkat mondok ke Mekkah, Nyai Ma’munatun sendiri belum pernah pergi ke sana. Harapan terbesar beliau adalah agar anak-anaknya bisa menimba ilmu sedalam-dalamnya dan menjadi orang manfaat. Tidak pandang putra atau putri, semuanya mendapat kesempatan yang sama untuk mondok.

Kiai Asrori sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya. Beliau punya cara yang unik dalam mengelola royalti kitabnya. Royalti itu tidak pernah beliau ambil, tapi beliau bilang pada pemilik penerbitan agar jika anak-anaknya butuh uang untuk mondok, mereka bisa meminta langsung pada penerbit. Kiai Asrori dan Nyai Ma’munatun juga pernah meramu jamu lalu Kiai Asrori sendiri yang berkeliling menjajakannya. Kiai Asrori juga pernah diangkat menjadi Hakim Agama Pengadilan Agama Kabupaten Magelang.  Tidak jarang, Nyai Ma’munatun sendirian yang berangkat ke pesantren-pesantren untuk sowan ke guru anaknya dan mengirimi bekal secukupnya.

Demi Anak-santri yang Berilmu

Setelah memiliki tujuh anak, suatu hari, Kiai Asrori mengajak istrinya bicara. Beliau bertanya, bagaimana jika dirinya akan menikah lagi. Dalam keadaan terkejut dan gelisah, Nyai Ma’munatun menjawab, “nyumanggaaken.” Nyai Ma’munatun dengan ilmu yang ia ketahui tak bisa menolak atau melarang suaminya matsnasebab itu tidak dilarang agama. Bagaimana pun, meski secara akal beliau menerima, tapi hati perempuan mana yang tidak berat melalui hari demi hari dengan berbagi suami. Saat keluarga Rembang dan Magelang mengetahui itu, beberapa famili secara khusus mengunjungi Nyai Ma’munatun dan bersimpati. Kiai Muslih pamannya dari Rembang berkata, “nek pas atimu loro, iku dinggo dungakno anak-anakmu ben dadi anak-anak sholih sing duwe ilmu.” Hanya perempuan dengan hati seluas samudera yang mampu menjadi lilin untuk menerangi hari depan anak-anaknya dan menjadi istri yang setia dalam keadaan tersulit. Apalagi takdir yang harus ditempuh sungguh menguji kekuatan iman. Sekeras apapun badai menerjang, beliau tetap kokoh berdiri untuk putra putrinya, juga untuk santri-santrinya.

Di pondok, Nyai Ma’munatun berperan aktif.  Sampai akhir hayatnya, beliau selalu mengajar santri-santri putri, membaca kitab dan ‘menyentuh’ langsung pribadi setiap santri. Ada saat di mana Kiai Asrori sering sekali tindakan karena kepentingan tertentu dan beliau gusar melihat santri-santri yang mulai berkurang. Beliau memberanikan diri matur agar sesibuk apapun, bagaimana pun caranya, Kiai Asrori harus bisa memprioritaskan santri yang sungguh-sungguh ingin mengaji. Beliau tidak ingin orang yang mencari ilmu mutung karena tidak bertemu guru. Dengan dukungan istri, Kiai Asrori kembali istiqomah ngopenisantri dan makin produktif menulis.

Saking hausnya dengan pengetahuan, Nyai Ma’munatun membaca habis hampir semua bacaan yang beliau temui. Yang selalu istiqomah beliau muthola’ah adalah kitab Tafsir Al-Ibriz dan kitab-kitab karya suaminya. Jika ada koran, beliau akan membaca habis semuanya termasuk baris iklan. Jika menemani cucunya belajar, beliau juga ikut membaca buku pelajaran cucunya. Bahkan beberapa koleksi buku sastra milik anaknya juga beliau baca. Mbah Munat bertahun-tahun lalu telah khatam membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer seperti Bumi Manusia yang belakangan ini boomingfilmnya. Tapi dari karya-karya Pram yang mampir ke tangannya, novel berjudul Gadis Pantai lah yang paling menyita perhatiannya. Novel itu bercerita tentang gadis kampung nelayan yang dipilih Bendoro Rembang sebagai istri sementaranya. Ia hidup dalam penyangkalan, penderitaan, dan penggugatan. Barangkali latar cerita Gadis Pantai sangat dekat dengan latar hidup Nyai Ma’munatun sendiri.

Beliau selalu mendoakan anak-anaknya juga santri-santrinya mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Tanpa lelah, setiap setelah sholat tahajud, beliau mengirimkan fatihah untuk putra-putrinya satu per satu juga untuk seluruh santri. Beliau sangat disiplin dalam mendidik anak. Untuk mengingatkan sholat dan ngaji,  beliau tidak segan untuk bersikap tegas. Beliau punya prinsip, “meski sekolah sampai langit biru, yang paling penting ngaji.”

Meski dalam hal prinsip beliau keras, tapi beliau sangat penyayang terhadap anak dan cucunya. Meski rumahnya sederhana dan tidak banyak ruang, setiap kali cucunya berkumpul lalu tidur di pojok mana saja yang mereka pilih. Mbah Munat, demikian beliau dipanggil oleh keluarganya, selalu memakaikan kaos kaki dan selimut. Beliau menjahit sendiri bantal-bantal kapuk yang disimpan di lemari khusus untuk cucu-cucunya yang datang menginap.

Mbah Munat selalu mengenakan kebaya dan jarik dengan sangat rapi. Setiap tindakan, beliau menyiapkan baju-bajunya per pasang, untuk kemudian dibalut kain sebelum dimasukkan ke dalam tas. Meski rumahnya jauh dari mewah, tapi selalu ditata rapi, bersih, dan nyaman. Baju bahkan lap dapur dicuci sendiri dan diberi pewangi. Beliau menata semua perabot dengan detail, sangat titen dengan barang-barang. Semua yang dilakukan beliau selalu berpedoman pada adab kesopanan.

Dalam kehidupan bermasyarakat, beliau sangat gemati dengan masyarakat sekitar. Mbah Munat adalah orang yang dermawan dalam keadaan apapun. Beliau selalu menghormati tamu sebaik mungkin. Mbah Munat selalu menyajikan kudapan dan daharanseadanya dan menjadi teman bicara yang baik. Beliau selalu menaruh perhatian pada tamu yang datang dengan caranya.

Beliau juga aktif di Muslimat. Pada Rutinan Jumat Legi dan Ahad Kliwon, beliau nyaris tak pernah absen. Beliau selalu berangkat sampai satu selapan terakhir dalam hidupnya karena mulai jatuh sakit. Beliau pernah didapuk menjadi ketua PAC Muslimat NU Tempuran, Magelang. Kontur daerah yang tidak rata terbagi menjadi 14 ranting ‘di bawah’ dan 4 ranting ‘di atas’. Jika giliran rutinan di daearah bukit, beliau berangkat dengan kendaraan sampai habisnya akses jalan raya. Sisanya beliau tempuh berjalan kaki yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat, juga terjal. Seperti di pondok selain nelateni fasholatan, di Fatayat beliau juga ngaji korasan. Beliau membacakan kitab-kitab sederhana seperti Mabadi’ Fiqhiyah atau Washiyatul Musthofa.

Sepanjang hidupnya, Nyai Ma’munatun adalah pribadi yang kuat prihatin. Dari kecil sudah yatim, dididik oleh suami yang baru belakangan disadarinya, pindah ke Magelang dengan kondisi jauh dari fasilitas, semua itu menjadikan beliau berhati kuat. Kesulitan hidup tidak pernah membuatnya menyerah, justru keadaan-keadaan sulit ia balik sebagai kesempatan untuk melangitkan doa bagi anak-anaknya.

Saking tawadlu’ dan haus ilmu, sampai akhir hayatnya beliau juga rajin menimba ilmu di pengajian rutin yang digelar PAC Muslimat NU Tempuran setiap hari Ahad. Ketika beliau muthola’ah dan ada hal yang tidak dipahami, beliau selalu bertanya. Saat Kiai Asrori sudah wafat, beliau tidak segan bertanya pada anak-anaknya yang sudah membawa pulang beragam ilmu dari pondok maupun bangku kuliah. Beliau pernah dengan sangat dalam mensyukuri, “Alhamdulillah Abah ninggal anak-anak sing pinter ngaji.”

Hasil prihatin Nyai Ma’munatun bisa dilihat hari ini. Putra-putri beliau menjadi orang-orang yang menebar manfaat dengan ilmu di tingkat lokal sampai nasional dan menyentuh berbagai kalangan. Putra sulungnya, Kiai Haroen Asrori (alm) pernah menjadi ketua PCNU Kabupaten Temanggung, Bu Nyai Sintho’ Nabilah mengasuh PP Al-Hidayat Salaman dan menjadi da’iyah yang dicintai ummat, Kiai Ma’ruf Asrori mempelopori penerbitan buku-buku NU dengan mendirikan Penerbit Khalista, Kiai Said Asrori melanjutkan mengasuh PP Rodulotut Thullab Tempuran dan kini didapuk menjadi jajaran Rois Syuriah PBNU, Kiai Labib Asrori mengasuh PP Irsyadul Mubtadi-ien Tempuran;  pernah menjadi Ketua DPRD Kabupaten Magelang dan sampai kini aktif mengajar dan menginisiasi komunitas lintas identitas, Kiai Aqil Asrori aktif di Ansor dan berbagai komunitas, Bu Nyai Muthmainnah Katsroh mengasuh pesantren Salamah wa Barokah di Canden Sragen, Kiai Kholil Asrori aktif mengaji dan menginisiasi komunitas petani hayati.  Semuanya melakukan dakwah dan perjuangan dengan caranya masing-masing.

Nyai Ma’munatun wafat pada Jumat legi, 24 Oktober 2014. Kini dzuriyah beliau terdiri dari 7 putra-putri, 8 menantu, 43 cucu dan 9 cucu buyut. Ribuan orang berduyun-duyun melayat tak henti sampai 40 hari. Itu sudah cukup menunjukkan bahwa kebersahajaan beliau menempati ruang khusus di hati setiap orang yang mengenal beliau semasa hidupnya.

Untuk Mbah Munat inspirasi dan teladan kami, laha al-Fatihah..

Referensi:

  1. https://www.suaramerdeka.com/news/baca/189689/kh-kholil-harun-imam-sibawaihnya-jawa
  2. https://www.halaqoh.net/2018/01/mengenal-strategi-kulak-ilmu-dari-kiai.html

Penulis: Nabilah Munsyarihah (PP Roudlotut Thullab Tempuran Magelang)