Ulama Oposan atau Oplosan?

Berbeda dengan gelar-gelar lain, gelar ulama menjadi suatu istilah yang akan diperdebatkan oleh setiap komunitas masyarakat.

· 4 menit untuk membaca
Ulama Oposan atau Oplosan?

Zawaya.id–Berbicara mengenai ulama, secara otomatis imajinasi kita akan membayangkan sosok santun dan yang pasti seseorang yang pandai dalam bidang keislaman. Padahal, kata ulama berasal dari bahasa Arab dan semula merupakan bentuk jamak dari kata 'alim, yang berarti orang yang mengetahui atau pandai. Orang yang ahli dalam ilmu apapun dapat dikategorikan sebagai ulama.

Istilah tersebut kemudian menyebar dari mulut ke mulut namun maknanya mengalami penciutan. Sehingga lebih banyak digunakan untuk menyebut orang-orang yang ahli ilmu agama saja. Bagi kalangan terpelajar muslim, istilah ini tetap dipahami dalam konotasi yang tidak terbatas. Sebab, untuk dikatakan sebagai ulama Islam, pengamalan ilmu menjadi persyaratan mutlak dan utama.

Pengertian masyarakat tentang ulama menjadi kacau mungkin karena adanya kerancuan pendefinisian ulama secara bahasa dan istilah. Kemudian, di Indonesia ini, kata ulama bukan lagi berbentuk jamak, tetapi sudah menjadi kata tunggal, dan ini sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Selain fakta di atas, ada fakta lain yang menjadikan makna ulama menjadi semakin gelap. Sebab, berbeda dengan gelar-gelar lain, gelar ulama ini menjadi suatu istilah yang akan diperdebatkan oleh setiap komunitas masyarakat. Setiap masyarakat atau kelompok memiliki kriteria sendiri-sendiri untuk menyebut seseorang sebagai ulama. Bahkan, pemerintah dan media, dua kekuatan pembentuk opini yang paling dominan di negeri ini, dapat dengan mudah dan seenaknya "memproduksi" ulama.

Tak heran, jika kemudian masyarakat jadi ikut-ikutan menyematkan gelar ulama kepada sosok yang telah "dikarbit" baik secara sengaja atau kebetulan oleh media-media yang biasa kita gunakan setiap hari. Maka jangan heran, jika telinga dan mata kita mendengar dan menyaksikan adanya istilah lucu seperti "ulama selebritas", "ulama panggung", "ulama politik", dan lain sebagainya.

Hal ini berbeda dengan kategori ulama yang telah dipaparkan oleh al-Ghazaliy. Al-Ghazaliy menjelaskan ada dua macam ulama. Pertama, ulama dunia yakni mereka yang menggunakan ilmunya bukan lillahi ta'ala dan hanya demi untuk hal-hal lain yang bersifat duniawi, termasuk mencari kedudukan di mata masyarakat, viral, populer, dan sebagainya. Dan kategori yang kedua adalah ulama akhirat yang tujuannya tidak lain adalah untuk mencari rida Allah, mereka inilah yang disebut sebagai pewaris para nabi (warasatul anbiya).

Singkat kata, ulama akhirat adalah ulama yang hakiki (baik dan sejati) yang mengikuti jalan para nabi utusan dan ulama dunia adalah ulama yang su' (buruk) yang mengikuti jalan setan.

Banyak ulama, karena membela dan menegakkan kebenaran, difitnah dan harus meringkuk di penjara atau bahkan dibunuh oleh para penguasa lalim. Kecuali mereka yang mampu "bersiasat" dalam menjalankan peran keulamaan mereka, seperti Imam Syafi'i yang selamat dari rezim waktu itu.

Di saat hegemoni kekuasaan begitu kuat menancapkan cengkeramannya. Di sini pula, kemudian ulama terbelah menjadi dua, yang tak tahan terhadap tekanan-tekanan atau iming-iming dunia, mereka akan dekat dan hanyut pada penguasa untuk mendapatkan kenikmatan dunia dengan menanggalkan nilai luhur mereka sebagai ulama. Maka jadilah mereka ini sebagai ulama su' (ulama tercela).

Di sisi lain, mereka yang tetap mempertahankan kebenaran yang diyakininya dan memilih untuk menjadi "ulama oposan". Kita dapat menemui dalam sejarah ulama oposan ini, seperti al-Nasa'i, Ahmad ibn  Hanbal, dan masih banyak yang lain. Itu adalah fakta sejarah yang dapat kita saksikan dalam lembaran-lembarannya.

Hari ini, kita, masyarakat Indonesia, di tengah memanasnya iklim politik, sedang dihadapkan pula dengan dua pertentangan istilah tersebut, artinya, ada suara-suara sumbang dan sumbing yang entah sengaja atau tidak, yang mencoba untuk mengacaukan ketenangan peristilahan ini. Dengan mudahnya, Si "A" dikategorikan sebagai ulama su' dan gelar-gelar keburukan lainnya. Di samping itu juga, ada sebagian kelompok yang mengeluk-elukkan Si "B" sebagai ulama panutan dan wajib dibela, seorang "ulama oposan" yang anti penindasan terhadap rakyat kecil, pejuang keadilan, dan penegak syariat Islam.

Lantas apakah kita harus menelan hal tersebut mentah-mentah? Tentu tidak. Sebab untuk menentukan atau mengategorikan seseorang sebagai ulama su' tidak semudah itu, tidaklah cukup hanya sebatas apa yang kita saksikan di media atau melalui penceramah yang tidak jelas.

Begitu pula sebaliknya, ulama sungguhan atau bahkan ulama yang memiliki sikap tegas, yang saya sebut di sini sebagai "ulama oposan" memiliki kriteria yang ketat. Jadi tidak asal bisa bicara lantang, keras, menolak keputusan ini itu, dan "misah-misuh" tidak karuan bisa kita sebut sebagai ulama oposan.

Memang sikap oposan sangat diperlukan oleh negara atau pemerintahan dalam hidup berdemokrasi seperti Indonesia ini. Hal ini bertujuan supaya ada keseimbangan sebagaimana dalam dunia hukum ada tesis dan antitesis. Dan ulama pun bisa memainkan perannya sebagai ulama oposan sebagaimana telah saya jelaskan di atas.

Karakteristik Ulama Oposan

Namun, untuk menuju kategori oposan, paling tidak, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh ulama-ulama ini. Pertama, berdasarkan sikapnya, baik terhadap penguasa maupun lingkungan masyarakatnya. Ukurannya adalah kualitas dan lamanya. Sikap konsisten itu dipertahankan begitu lama, nyaris sepanjang hidup mereka sejak mereka berjuang untuk Islam hingga akhir hayat. Sepanjang hidup, mereka selalu menyerukan amar makruf nahi munkar, "tak lekang karena panas, dan tak lapuk karena hujan."

kedua, ulama ini tidak pernah masuk pada sistem yang berlaku. Mereka selalu mengambil sikap yang berhadapan dengan sistem itu. Walau diberi privilese selalu ditolak. Kalaupun mereka masuk, mereka tetap tidak tercebur dan hanyut, tetapi mereka melakukan pertentangan dan perlawanan terhadap putusan yang tidak sesuai ajaran.

Ketiga, mereka tidak pernah berubah menjadi figur lain, mereka tetap mengajar dan mendidik masyarakat, menyebarkan ayat-ayat Allah, dan tidak lantas, misalnya, menjadi politisi tulen.

Karakteristik Ulama Oplosan

Lalu bagaimanakah dengan orang yang mendadak kritis? Bicara agama? Dan mengaku sebagai "ulama oposan" di kondisi tertentu saja? Di mana di masa lalunya dia biasa-biasa saja, isi ceramah dan statement-statementnya dulu tidak "separah" ini. Di samping itu juga dia kurang mumpuni atau kualitas literasi keislamannya rendah, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan tiga prinsip atau kriteria di atas.

Maka, bagi saya, orang-orang tersebut bukanlah "ulama oposan", namun mereka adalah "ulama oplosan" (baca: palsu). Bahkan tak layak kata ulama disebutkan bagi orang-orang ini. Sebab seperti saya jelaskan di atas, ulama adalah ahli ilmu, dan para "karbiter" ini mereka tidak ada kepakaran dalam bidang tertentu, kecuali bicara di mimbar atau depan mikrofon. Tidak ada ilmu di kepala dan hati mereka. Masih mendingan ulama su' dibandingkan dengan ulama oplosan ini. Sebab, ulama su' masih ada ilmunya dan mereka termasuk pakar ahli, sedangkan ulama oplosan mereka ini sedikit ilmunya atau bahkan tak ada ilmu sama sekali.


Baca juga tulisan lain terkait opini dan artikel menarik lainnya dari Ubaidil Muhaimin

Related Articles

Sekotak Susu “Punya Mama”
· 3 menit untuk membaca
Menolak Taklid Buta kepada Influencer
· 3 menit untuk membaca
Tahun Baru (2023): Harapan VS. Dosa-Dosa Masa Lalu
· 2 menit untuk membaca
Ijtihad dalam Sudut Pandang Al-Dihlawi (1)
· 4 menit untuk membaca