Yerusalem: Kedatangan Hapiru, Tonggak Sejarah Baru!

Terkadang bangsa Hapiru menjadi penyamun atau tentara sewaan. Jelas mereka dipandang sebagai kekuatan pengacau keamanan di Kanaan. Abdi Hepa sendiri sangat cemas terhadap Hapiru.

· 9 menit untuk membaca
Yerusalem: Kedatangan Hapiru, Tonggak Sejarah Baru!
Source: https://pixabay.com/photos/jerusalem-worship-history-holiday-597025/

Zawaya.id–Tidak diragukan lagi, Israel telah tiba di Kanaan pada akhir abad ke-13 SM. Suatu bangsa yang terusir dari Mesir, yang dalam dokumen-dokumen dan inkripsi abad ke-14 SM dijuluki sebagai bangsa Hapiru atau Apiru. Disebut Apiru karena mereka adalah orang-orang tersingkir, diusir dari berbagai negara-kota karena alasan-alasan ekonomi atau politik.

Terkadang bangsa Hapiru menjadi penyamun atau tentara sewaan. Jelas mereka dipandang sebagai kekuatan pengacau keamanan di Kanaan. Abdi Hepa sendiri sangat cemas terhadap Hapiru. Orang-orang Israel pertama kali disebut Ibrani ketika mereka menjadi kelompok terpinggirkan di Mesir, tetapi mereka bukan satu-satunya Hapiru di kawasan itu.

Para pakar arkeolog banyak yang menyimpulkan bahwa sebenarnya orang-orang Israel adalah pribumi Kanaan yang mendiami bukit-bukit dan secara bertahap membentuk sebuah identitas tersendiri. Dugaan ini muncul ketika mereka menemukan bekas-bekas dari sekitar seratus desa baru di perbukitan utara Yerusalem yang diperkirakan berasal dari masa 1200 SM. Namun, dalam sejarah Bibel dan Islam, kaum eksodus ini adalah orang-orang dari luar Kanaan sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Dalam kisah Pentateukh maupun Al-Quran, kisah pencarian Israel untuk mendapatkan tanah air jelas termaktub secara rinci.

Sebenarnya, jika mau melihat akar sejarah, dua pendapat itu bisa dipertemukan meskipun agak rumit. Memang, suku-suku Hapiru Yosua bukan pribumi asli Kanaan, tetapi nenek moyang mereka sebelumnya telah menempati Kanaan dalam waktu yang lama setelah berpindah dari Mesopotamia, negeri kelahiran Ibrahim. Meskipun akhirnya, di masa Yakub, mereka bermigrasi ke Mesir pada masa bencana kelaparan.

Orang-orang Israel tidak mulai menulis sejarah mereka sendiri sebelum mereka menjadi kekuatan besar di negeri itu. Tulisan-tulisan mereka baru terkodifikasi dan teridentifikasi paling awal pada abad ke-10 SM. Hal ini sangat tampak pada kisah-kisah Abraham, Ishak, Yakub, tiga bapa leluhur Israel.

Kisah-kisah itu mungkin ditulis hampir seribu tahun setelah berlangsungnya peristiwa-peristiwa itu dideskripsikan. Para penulis Bibel sama sekali tidak mengetahui kehidupan di Kanaan pada abad ke-19 dan ke-18 SM, sebagai contoh, tidak ada penyebutan tentang kehadiran kekuatan Mesir yang menonjol di negeri itu. Namun, kisah-kisah para bapak leluhur bermakna penting karena menunjukkan bagaimana orang-orang Israel mulai membentuk sebuah identitas khas untuk diri mereka sendiri.

Pada masa itu, orang-orang Israel percaya mereka semua merupakan keturunan dari satu leluhur yang sama, Yakub, yang mendapat nama baru Israel (“semoga Tuhan menunjukkan kekuatan-Nya atau dia bergumul dengan Tuhan”) sebagai tanda hubungan istimewanya dengan Tuhan. Yakub/Israel memiliki dua belas putra, yang masing-masing merupakan leluhur salah satu dari kedua belas suku Israel.

Berikutnya, orang-orang Israel meninjau lebih ke belakang lagi kepada kakek Yakub, Ibrahim, yang dipilih Tuhan untuk menjadi pendiri bangsa baru. Begitu kuat keyakinan orang-orang Israel bahwa mereka bukan bangsa asli Kanaan sehingga mereka menganggap leluhur mereka berasal dari Mesopotamia. Pada sekitar 1850 SM, mereka percaya Tuhan menampakkan diri-Nya kepada Ibrahim di Haran dan berfirman kepadanya untuk meninggalkan Mesopotamia dan menuju Kanaan sebagai seorang pendatang. Dia tidak memiliki tanah sampai dia membeli tanah untuk tempat pemakaman istrinya di gua Makhpela di Hebron.

Hal yang penting dalam kisah-kisah para leluhur ini adalah upaya menemukan tanah air. Abraham, Ishak, dan Yakub amat menyadari status mereka sebagai bangsa asing di Kanaan. Dalam sejarah Yerusalem dan tanah suci, baik orang Yahudi, Kristen, dan Muslim, mereka menjumpai orang lain yang telah lebih dahulu memiliki tanah itu.

Mereka semua harus menghadapi kenyataan bahwa kota dan tanah itu telah dianggap suci oleh  orang-orang sebelum mereka, dan integritas keimanan mereka bergantung sebagian besar pada cara mereka memperlakukan orang-orang yang sudah lebih dahulu ada di sana. Ini sungguh kontras dengan bangsa Zionis sekarang yang merasa paling memilikinya dan menganggap yang lain (goyim/gentile) tidak berhak atas “tanah suci” yang sekarang mereka kuasai.

Pandangan bahwa ada bangsa lain yang mendiami Kanaan sebelum bangsa pilihan mungkin bisa dilihat pada mitos–konsep dalam memahami sejarah Yerusalem yang telah saya jelaskan di tulisan awal–kehendak Tuhan yang selalu memilih anak kedua ketimbang anak sulung, seperti Ismail dan Ishak, yang kemudian Ibrahim harus memilih untuk menjauhkan Ismail darinya dengan menaruhnya di gurun tandus dan hidup bersama Ishak. Pada generasi berikutnya, Tuhan juga memilih anak kedua. Istri Ishak Ribka, merasa dua bayi kembarnya bertarung di dalam kandungannya, dan Tuhan memberi tahu Ribka bahwa dua bangsa sedang bertarung di dalam tubuhnya.

Ketika kedua anak itu lahir, anak kedua muncul ke dunia sambil memegang tumit kakaknya, Essau. Oleh karenanya, ia disebut Yakub: si pemegang tumit atau si perampas. Di sini, Essau, seperti dalam hubungan Ismail dan Ishak, juga harus menelan takdir untuk menyerahkan semuanya pada Yakub. Inilah yang kemudian membentuk orang-orang Israel menjadi kaum yang merasa paling berhak untuk menempati tanah suci. Orang lain boleh menempatinya pertama kali atau sejak lama, namun “anak pilihan” pada akhirnya adalah pemilik sesungguhnya.

Pada awalnya, bangsa Israel belum menganggap Kanaan sebagai tanah suci. Klaim tersebut baru terjadi setelah Yakub bermimpi dan mendapatkan perjumpaan ilahiah. Di malam itu, Yakub bermimpi melihat suatu tangga yang menjulang hingga menuju langit. Di puncak tangga tampak Tuhan yang meyakinkan Yakub bahwa dia akan mendapat perlindungan dari-Nya. Saat terbangun Yakub dilanda ketakutan yang sering menjadi ciri perjumpaan dengan yang sakral. Tempat yang awalnya tampak biasa saja terbukti merupakan sebuah pusat spiritual yang menyediakan akses bagi manusia akses ke alam ilahiah. Sejak saat itu, Yakub mendirikan sebuah tugu sebagai tanda untuk membedakan dengan tanah-tanah di sekelilingnya.

Nanti kita akan melihat bahwa bukit Zion di Yerusalem menjadi sebuah tempat visi bagi bangsa Israel, meskipun ini bukan satu-satunya tempat suci mereka dalam fase awal sejarah mereka. Yerusalem tidak berperan dalam peristiwa-peristiwa pembentukan yang membuat bangsa baru Israel menemukan ruhnya. Kita telah melihat bahwa pada masa Yosua sebagian orang Israel memandang kota itu sebagai sebuah tempat yang pada hakekatnya Sing, sebuah kota yang didominasi kaum Yebus.

Para bapa leluhur dikaitkan dengan Betel, Hebron, Sikhem, dan Bersyeba, tetapi tampaknya mereka tidak menaruh perhatian pada Yerusalem selama pengembaraan mereka. Namun, memang pernah satu kali Ibrahim bertemu Melkisedek, raja dan pendeta dari “Salem”, yang sedang dalam perjalanan pulang ekspedisi militer. Raja itu menjamu Ibrahim.

Tradisi Yahudi mengidentifikasi “Salem” sebagai Yerusalem, meski hal itu sama sekali tidak bisa dipastikan. Legenda lokal menyebut Melkisedek sebagai pendiri Yerusalem, dan raja-raja Yerusalem dianggap sebagai keturunannya. Kisah Melkisedek bertemu Ibrahim mungkin pertama kali dituturkan pada masa penaklukan Raja Daud (Nabi Dawud) atas Yerusalem untuk melegitimasi gelarnya. Kisah itu menunjukkan bahwa leluhurnya menghormati dan dihormati oleh pendiri Yerusalem. Sekali lagi, kisah ini menunjukkan penghormatan kepada orang-orang yang telah lebih dahulu mendiami Yerusalem.

Yerusalem sama sekali tidak muncul dalam kisah-kisah eksodus orang-orang Israel dari Mesir, yang menjadi mutlak sentral dalam keimanan mereka. Kisah-kisah biblikal tentang peristiwa tersebut membuatnya mengalami mitologisasi, memunculkan makna spiritual abadinya. Narasi Bibel mencoba mereproduksi peristiwa tersebut dengan cara yang bisa memuaskan para sejarawan modern.

Eksodus hakikatnya adalah sebuah kisah pembebasan dan kepulangan ke tempat asal yang menyalakan semangat umat Yahudi pada banyak momen terlelap dalam sejarah panjang mereka yang tragis, pesan eksodus juga menginspirasi umat Kristen yang berjuang melawan ketidakadilan. (ini akan saya jelaskan di tulisan berikutnya). Meskipun Yerusalem tidak berperan dalam kisah itu, tradisi eksodus menjadi signifikan dalam spiritual bangsa Israel di bukit Zion. Mitos eksodus berakhir dengan pembentukan tanah air. Selama tahun-tahun itu, Israel berpindah dari kekacauan dan keingkaran ke realitas mapan yang ilahiah.

Kemudian, bangsa Israel berjalan menuju gunung suci Sinai. Di sana, sesuai tradisi yang sudah lama berlangsung, Musa mendaki puncak untuk berjumpa dengan Tuhannya, kaumnya menanti di tempat yang cukup jauh. Di gunung Sinai, Yahweh (Allah) menyatakan Israel sebagai bangsa pilihan-Nya, dan sebagai tanda perjanjian ini, Ia memberi Musa Taurat, atau hukum, yang memuat sepuluh perintah Tuhan. Meskipun demikian, nanti kita akan lihat bahwa Taurat tidak menduduki posisi sentral dalam kehidupan religius bangsa Israel sebelum pengasingan mereka ke Babel.

Akhirnya, sebelum diizinkan memasuki Tanah yang dijanjikan, bangsa Israel harus menjalani cobaan selama empat puluh tahun mengembara di gurun pasir. Periode ini bukanlah sebuah jeda romantik. Bangsa Israel terus menerus mengeluh dan ingkar kepada Yahweh (Allah) selama tahun-tahun tersebut; mereka merindukan kehidupan lama di Mesir yang bagi mereka saat itu tampak lebih nyaman.

Di timur dekat, gurun pasir diasosiasikan dengan kematian dan kekacauan purba. Maka, gurun dianggap sebagai tempat suci yang sudah tercemar dan dikuasai oleh kejahatan. Gurun tetap menjadi tempat keputusasaan hebat dalam imajinasi bangsa Israel: tidak ada kenangan indah tentang tahun-tahun pengembaraan di gurun selama eksodus. Selama empat puluh tahun, bangsa Israel harus berjuang hidup di tanah jahat ini, memasuki kondisi kepunahan simbolik sebelum Tuhan mereka membawa mereka pulang.

Namun, Tuhan tidak meninggalkan begitu saja bangsa pilihan-Nya di padang liar. Seperti kaum-kaum nomadik lainnya, bangsa Israel memiliki simbol yang bisa dibawa kemana-mana, penghubung mereka dengan ranah ilahiah yang membuat mereka tetap eksis. Jika suku Aborigin membawa tiang suci, bangsa Israel membawa Tabut perjanjian, benda suci yang kelak amat penting bagi mereka setelah berdiam di Yerusalem.

Tabut itu berupa peti berisi lempengan-lempengan (lauh) batu bertuliskan Taurat/hukum, ditopang oleh dua patung emas kerub; sayap-sayap terkembang mereka menjadi punggung singgasana Yahweh. Kita ketahui bahwa singgasana kosong sering dipakai simbol ilahi. Sejak saat itu, singgasana menjadi simbol kehadiran ilahi dalam tradisi Yahudi. Maka, Tabut menjadi tanda lahiriah kehadiran Yahweh. Tabut itu diangkut oleh orang-orang dari suku Lewi, leluhur Musa dan Harun, yang ditunjuk sebagai kelas pendeta dari bangsa Israel, dan harun menjadi kepala pendeta. Tabut ini menjadi semacam pusaka pelindung dan memberikan rasa tenteram bagi bangsa Israel. Apabila mereka dalam perjalanan, segumpal awan meneduhi Tabut sebagai tanda kehadiran ilahiah.

Hanya sedikit yang kita ketahui tentang kehidupan awal bangsa Israel di Kanaan. Mereka mendirikan kemah untuk Tabut di Silo begitu mereka telah berhasil menetap di kawasan pegunungan. Namun, dalam tulisan lain, tampaknya Tabut disemayamkan di Hekal di sebuah kuil yang lazim di Silo. Namun, sepertinya orang-orang Israel beribadah di banyak kuil lainnya; di Dan, Betel, Mizpa, Ofra, dan Gibeon, juga di tempat terbuka bamoth.

Sebagian orang-orang Israel menyembah dewa-dewa lain di samping Yahweh, yang dirasa sebagai dewa asing dan belum sepenuhnya mapan di Kanaan. Orang-orang Israel bahkan mungkin menyusun suatu upacara yang memperagakan ulang peristiwa kehadiran ilahi di gunung Sinai, dengan cara meniup sangkakala untuk meniru bunyi guntur dan dupa untuk meniru awan tebal yang menyelimuti puncak gunung. Unsur-unsur ini juga kelak muncul dalam peribadahan di Yerusalem.

Sejak sekitar 1030 SM, penduduk di pegunungan utara telah memiliki rasa persaudaraan dan solidaritas yang kuat. Mereka menganggap diri meraka sebagai sebuah bangsa tersendiri, keturunan dari leluhur yang sama. Hingga saat itu, mereka dipimpin oleh hakim-hakim atau kepala-kepala suku, tetapi akhirnya mereka ingin membentuk sebuah kerajaan seperti bangsa-bangsa lainnya di kawasan itu.

Kekuatan-kekuatan besar di Asyur, Mesopotamia, dan Mesir sedang mengalami kemunduran di masa itu, dan negara-negara lainnya yang lebih kecil bermunculan untuk mengisi kekosongan kekuasaan: Amon, Moab, dan Edom. Bangsa Israel menyadari diri mereka terkepung oleh para pesaing agresif yang berminat menaklukkan wilayah pegunungan Kanaan. Orang-orang Amon dan Moab menerobos ke wilayah mereka dari timur, sedangkan orang-orang Filistin mengancam mereka di sebelah barat.

Pada suatu kesempatan, pasukan Filistin menjarah dan menghancurkan kota Silo, merampas Tabut Perjanjian sebagai tanda kemenangan perang. Namun, mereka segera mengembalikannya begitu mereka merasakan adanya kekuatan mematikan pusaka perang tersebut. Setelah Tabut tidak lagi aman tersimpan dalam sebuah bangunan suci, bangsa Israel juga menyaksikan bahwa pusaka suci itu punya kekuatan mengerikan, sehingga mereka menyimpannya di sebuah rumah pribadi di Kiryat-Yearim, di perbatasan wilayah mereka. Segala kekacauan politik ini mungkin meyakinkan bangsa Israel bahwa mereka membutuhkan kepemimpinan kuat seorang raja, sehingga meskipun enggan, Samuel akhirnya mengurapi Saul dari suku Bunyamin menjadi raja Israel pertama.

Saul memerintah wilayah yang jauh lebih luas ketimbang semua raja-raja sebelumnya. Wilayahnya mencakup seluruh pegunungan tengah, di kedua sisi sungai Yordan, sebelah utara negara-kota Yerusalem yang masih diperintah kaum Yebus.

Dalam Bibel, Saul digambarkan sebagai figur tragis: ditinggalkan tuhannya karena berani mengambil inisiatif dalam masalah peribadahan, ditimpa depresi berat bertubi-tubi, dan menyaksikan kekuasaannya berangsur-angsur terkikis. Namun, pencapaiannya cukup besar. Dari pusat kepemimpinannya di Gibeon, secara mantap Saul memperluas wilayahnya, dan para penduduk bukit-bukit bergabung secara suka rela. Selama hampir dua puluh tahun ia mampu mempertahankan kerajaannya, sampai ia dan putranya Yonatan tewas di tangan bangsa Filistin dalam pertempuran di pegunungan Gilboa pada sekitar 1010 SM.

Daud sebelumnya adalah seorang kesatria yang sangat dihormati di kerajaan Saul: ia adalah sahabat dekat Yonatan dan menikah dengan Mikhal, putri Saul. Daudlah satu-satunya orang yang menghibur Saul ketika raja itu mengalami depresi, melipur laranya dengan lagu dan syair.

Namun, dikisahkan bahwa Saul menjadi cemburu terhadap ketenaran dan kegemilangan Daud, sehingga Daud harus melarikan diri demi menyelamatkan hidupnya. Mulanya, ia hidup bersama sekelompok gerilyawan sebagai hapiru di perbukitan kosong di selatan Yerusalem, akhirnya ia bersekutu dengan orang Filistin, musuh berbahaya Israel. Saat mendengar kabar kematian Saul, Daud dari suku Yehuda bermukim di bukit Ziklag, di negeri Negeb, yang dihadiahkan kepadanya oleh majikan barunya, Akhis, raja Gat.

Setelah kematian Saul, Isyboset, putra Saul yang masih hidup, memerintah kerajaan Israel warisan ayahnya di utara, sedangkan Daud mendirikan sebuah kerajaan di perbukitan yang masih jarang berpenghuni di selatan, dengan ibu kota di Hebron. Bangsa Filistin mungkin mendorong langkah Daud ini dengan tujuan agar bangsa Filistin dapat menancapkan pengaruhnya di wilayah pegunungan itu.

Dengan demikian, di Yerusalem, kaum Yebus menyadari diri mereka terancam oleh kepungan dua kerajaan musuh: kerajaan Israel pimpinan Isyboyet di utara dan kerajaan Yehuda pimpinan Daud di selatan. Namun, Isyboyet adalah raja yang lemah, kerajaannya lebih kecil dibanding kerajaan masa ayahnya. Ini disebabkan pemberontakan panglimanya yang kemudian membelot ke Daud.

Akhirnya, setelah tujuh setengah tahun Daud diangkat sebagai raja, Isyboyet terbunuh, dan para pembunuhnya melarikan diri ke istana Daud. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Daud, sebagai suami dari anak raja Israel sebelumnya. Daud kemudian punya klaim atas tahta kerajaan Israel. Di sini kemudian beberapa perwakilan suku-suku mendatanginya untuk tujuan damai dan segera mengangkatnya sebagai raja Israel. Kini Daud adalah penguasa kerajaan bersatu Israel dan Yehuda.

Bersambung...

Yerusalem: Sebuah Awal Mula
“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel,” tegas Ir. Soekarno

Baca ulasan menarik lainnya dari Ubaidil Muhaimin

Related Articles

Yerusalem: Kota Daud
· 4 menit untuk membaca
Yerusalem: Sebuah Permulaan
· 7 menit untuk membaca