Refleksi Ultah ke-1082 Jamik Al-Azhar Al-Syarif: Potret Otoritas Islam Abadi

Al-Azhar Al-Syarif memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keutuhan dan orisinalitas turats, ketika ia berada di ambang kepunahan dan kerusakan.

· 5 menit untuk membaca
Refleksi Milad Jamik Al-Azhar Al-Syarif: Potret Otoritas Islam Abadi
Gambar: Facebook Al-Azhar Al-Syarif

Zawaya.id–Tepat hari ini, yakni Jumat, 7 Ramadan 1443 H, Al-Azhar Al-Syarif berulang tahun yang ke-1082 tahun. Al-Azhar merayakan ulang tahunnya di bulan Ramadan. Bagi saya, cukup klise ketika Al-Azhar–almamater saya tercinta, tempat saya bersekolah, belajar, dan mengaji–berulang tahun, namun hanya sekadar ucapan dan doa saja yang muncul dari saya. Berangkat dari sini, selain mendoakan Al-Azhar supaya tetap eksis hingga hari akhir (baca: hari kiamat), saya ingin menulis seputar Al-Azhar di ultahnya yang sekarang, sebagai bentuk hormat dan apresiasi terhadap Al-Azhar yang sangat agung, dari saya yang teramat kecil.

Sejarah Singkat Lahirnya Al-Azhar

Masjid Al-Azhar dibuka pada tahun 972 M/ 361 H, pada masa kekuasaan Dinasti Fatimiyah. Karena Dinasti Fatimiyah waktu itu menganut Mazhab Syi’ah Ismailiyah, maka mereka sangat cinta terhadap Ahlul Bait, termasuk Sayidah Fatimah Al-Zahra, putri Rasulullah Saw. Karena itu, nama Al-Azhar sendiri diambil dari nama putri nabi, sebagai bentuk cinta dan tafa"ul (baca: mengalap berkah) kepada beliau.

Masjid Al-Azhar dibangun pada 970 M/ 359 H dan selesai pada 972 M/ 361 H. Salat Jumat di masjid ini dilakukan pertama kali pada 21 Juni 972 M/ 7 Ramadan 361 H. Sedangkan kegiatan belajar-mengajar–yang kita kenal dengan istilah talaki atau halakah keilmuan–di masjid ini dimulai pada tahun 976 M/ 365 H. Bentuk kegiatan belajar-mengajar tersebut dilakukan dalam bentuk melingkar di teras-teras pojok (ruwaq) Masjid Al-Azhar.

Pada awalnya, Al-Azhar berdiri dalam bentuk masjid saja, belum ada universitasnya seperti sekarang. Masjid Al-Azhar didirikan oleh Jauhar Al-Shiqili, jenderal perang Dinasti Fatimiyah, pada masa khalifah Mu’iz Lidinillah. Meskipun begitu, ia tetap mengadakan kegiatan belajar-mengajar di teras-teras pojok Masjid Al-Azhar. Hanya saja, materi yang diajarkan pada waktu itu masih berkaitan dengan mazhab Syi’ah, belum Suni seperti saat ini. Buku yang paling terkenal diajarkan di Masjid Al-Azhar saat itu adalah ‘Al-Iqtishar’, yakni Yurisprudensi (baca: Fikih) dalam ajaran Syi’ah. Di masjid ini pun terdapat kegiatan belajar-mengajar seputar kebatinan aliran Syi’ah Ismailiyah dan ilmu-ilmu lainnya seperti filsafat, ilmu kalam, tafsir, hadis, dan lain-lain.

Pada tahun 1171 M/ 567 H, kekuasaan Dinasti Fatimiyah runtuh dengan meninggalnya Khalifah Al-‘Aidhid Lidnilillah. Lalu, Shalahuddin Al-Ayyubi, salah satu menteri khalifah tadi, menggantikannya dan menduduki posisi tertinggi dalam kekhalifahan. Dengan bergantinya khalifah dari Lidinillah menjadi Al-Ayyubi, berganti pula ajaran Islam yang tersebar di Mesir, khususnya di Al-Azhar. Dari kekuasaan Fatimiyah, berganti menjadi kekuasaan Ayyubiyah.

Pada masa Khalifah Shalahuddin Al-Ayyubi, ia menghapus ajaran Syi’ah dan menggantinya dengan ajaran Suni. Hal tersebut terejawantahkan dalam beberapa hal, salah satunya adalah mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan aliran Suni dan ajaran imam empat mazhab Fikih. Selain itu, ia menutup sementara Masjid Al-Azhar, tidak boleh dipakai untuk berkegiatan sama sekali. Penutupan ini dilakukan dengan tujuan menghilangkan ajaran-aliran Syi’ah yang sangat kental menempel pada Al-Azhar.

Singkat cerita, muncullah kekuasaan Mamluk. Pada masa tersebut, di bawah kekuasaan Raja Al-Zhahir Bilbris, Masjid Al-Azhar mendapatkan renovasi dan perbaikan. Ia pun mendukung diadakannya kegiatan belajar-mengajar di masjid itu. Akhirnya pada tahun 1267 M/ 665 H, Masjid Al-Azhar dibuka kembali, kegiatan belajar-mengajar–baik ilmu agama maupun non-agama–dan salat berjamaah mulai diadakan lagi. Tahun 1930 M, lahirlah sebuah Universitas Al-Azhar yang aktif menerbitkan beberapa karya ilmiah. Dan pada sekitar tahun 1950 M, Universitas Al-Azhar berkembang menjadi banyak fakultas yang kita kenal seperti sekarang.

Urgensi Eksistensi Al-Azhar; Sebagai Penjaga Turats Islam dan Arab

Turats–warisan intelektual ulama zaman dahulu–dipandang sebagai sesuatu yang istimewa. Bagaimana tidak? Banyak ilmu pengetahuan keislaman (baca: manuskrip) yang para ulama tinggalkan, yang ketika tidak dijaga dengan baik-baik, maka akan hilang begitu saja ditelan zaman. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada manuskrip-manuskrip itu, jika Al-Azhar tidak pernah lahir pada kurang lebih 11 abad silam, lalu ia tidak setia menjaga dengan seutuhnya hingga saat ini. Mungkin turats tidak akan pernah ditemukan sampai sekarang, jika tidak dijaga baik-baik oleh Al-Azhar.

Di sini, Al-Azhar hadir sebagai jawaban atas problematika di atas. Setidaknya ada dua hal yang mengafirmasi terhadap tumbuh-kembang Al-Azhar yang akhirnya bisa menjadi pusat peradaban dan keilmuan Islam terbesar di dunia seperti sekarang.

Pertama, ekspansi yang dilakukan oleh Bangsa Tatar hingga menaklukan kekuasaan Abbasiyah di Bagdad. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya ulama muslim yang hijrah dari Timur ke Barat, yakni ke Mesir.

Kedua, penindasan yang dilakukan orang-orang Eropa kepada umat Islam di Andalusia. Hal ini menyebabkan hijrahnya ulama muslim dari Barat ke Timur, yang tak lain adalah ke Mesir, khususnya ke Kairo.

Mengutip dari Grand Imam Syekhul-Azhar, Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Thayyib, bahwa Al-Azhar Al-Syarif memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keutuhan dan orisinalitas turats, ketika ia berada di ambang kepunahan dan kerusakan. Kita semua tahu, Islam memiliki perpustakaan, lembaga penerjemahan, dan pusat penelitian yang didirikan pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Bagdad, Irak, pada abad ke-6 H. Perpustakaan tersebut bernama "Bait Al-Hikmah", dan dianggap sebagai pusat intelektual dan keilmuan pada masa keemasan Islam pada saat itu.

Namun, semuanya berubah ketika Bangsa Tatar Mongolia dari China menyerang. Mereka meluluh-lantahkan Bagdad; menghancurkan sekolah-sekolahnya; membunuh semua orang di sana tanpa pandang bulu; dan membakar seluruh koleksi buku di perpustakaan Bait Al-Hikmah Bagdad. Hal ini terjadi pada tahun 1256 M/ 656 H.

Dari sini kita bertanya-tanya: ketika seluruh manuskrip dan koleksi buku yang tersimpan Bait Al-Hikmah dihancurkan dan dibakar, lantas kenapa turats Islam dan Arab masih tetap eksis dan terjaga keutuhannya hingga saat ini? Siapakah yang berjasa akan hal tersebut?

Jawabannya adalah: Al-Azhar Al-Syarif dan para ulamanya. Jika tanpa mereka, umat Islam bisa kehilangan arah, dikarenakan kehilangan turats-nya yang menjadi rujukan utama dalam berpengetahuan Islam, di samping Alquran dan Hadis. Jasa Al-Azhar sangat besar dalam menjaga keutuhan dan orisinalitas turats Islam dan Arab.

Seperti yang telah ditulis di atas bahwa banyaknya ulama muslim baik dari Bagdad –yang hijrah ke Mesir karena diserang Bangsa Tatar, maupun dari Andalusia yang hijrah ke Mesir karena ditindas oleh orang-orang Eropa–hal ini melahirkan integrasi antara keilmuan dan peradaban Islam dari ulama-ulama tersebut. Mereka berkumpul di Al-Azhar untuk menuliskan ulang turats dan menyimpannya baik-baik, sebagai warisan sejarah intelektual yang akan terus diestafetkan kepada penerusnya, yakni ulama-ulama Islam hingga saat ini.

Profesor Filsafat Universitas Cairo, Profesor Zaki Najib Mahmud, bahkan sempat berkata, bahwa semua orang di dunia ini tahu: Mesir adalah pusat peradaban Islam, karena ia menjaga turats Islam dan Arab seutuhnya. Jika tidak ada jasa yang dilakukan oleh Al-Azhar dan para ulamanya, maka kita tidak akan pernah mengetahui apa itu turats Islam dan Arab, pascahancurnya Bait Al-Hikmah di Bagdad beberapa abad silam.

Bagi saya, Al-Azhar adalah ‘penyelamat’ umat Islam dari kegelapan dan keterpurukan intelektual-keilmuan-peradaban. Saya pun tak bisa membayangkan apa yang terjadi pada umat Islam pada zaman ini jika tidak ada turats Islam yang dijaga dan dilestarikan seutuhnya oleh Al-Azhar Al-Syarif dan ulama-ulamanya.

Sebelum penutup, saya berharap, semoga cahaya keilmuan Al-Azhar–baik jami’ maupun jami’ahnya–akan senantiasa bercahaya dan terus eksis dalam menyuarakan Islam moderat di tengah gempuran banyak ajaran-aliran yang menyerang pemikiran manusia pada masa ini. Semoga rahim Al-Azhar bisa terus melahirkan ulama-intelektual yang pakar di setiap bidangnya masing-masing.

Selamat Ulang Tahun yang ke-1082, wahai Al-Azhar Al-Syarif.

Terakhir, saya tulis bait-bait syair untuk Al-Azhar Al-Syarif dalam bahasa Arab, dengan memakai Bahar Rojaz. Sebagai berikut.

يبارك الله للأزهر الشريفْ # يبارك اللهْ علمائه الحنيفْ

فإنه لو غاب منا الأزهرُ # لمَا كان التراث يزدهرُ

Tabik!


Baca tulisan lainnya terkait Al-Azhar dan artikel menarik lain dari Hamzah Asad

Related Articles

Yerusalem: Kota Daud
· 4 menit untuk membaca
Yerusalem: Kedatangan Hapiru, Tonggak Sejarah Baru!
· 9 menit untuk membaca
Yerusalem: Sebuah Permulaan
· 7 menit untuk membaca
Sekotak Susu “Punya Mama”
· 3 menit untuk membaca
Menolak Taklid Buta kepada Influencer
· 3 menit untuk membaca
Tahun Baru (2023): Harapan VS. Dosa-Dosa Masa Lalu
· 2 menit untuk membaca