Zawaya.id–53 tahun yang lalu, tepatnya pada 7 Juni 1967, merupakan awal sejarah baru bagi bangsa Israel—yang untuk ke sekian kali—berhasil menancapkan kaki-kaki mereka di tanah Kanaan, bumi yang dijanjikan, meskipun dengan cara merampas kedaulatan penduduk Palestina. Al-Quds, yang sejak lama berhasil dibangun kembali oleh penguasa-penguasa Islam, telah dihancurkan dan diduduki oleh Zionis Yahudi. Tanggal itu kemudian dijadikan sebagai Hari Media Al-Quds Internasional, yang hari ini sedang diperingati oleh banyak masyarakat di seluruh penjuru dunia, terutama kaum muslimin.
Sedih, kecewa, amarah, dan sumpah serapah memenuhi beranda-beranda media sosial. Suatu ekspresi yang lumrah dan wajar ketika tanah suci yang dimuliakan dan dibanggakan kemudian dirampas dengan cara-cara yang keji dan tak berperikemanusiaan. Cita-cita untuk membebaskan al-Quds (Yerusalem) dan Palestina dari cengkeraman Zionis menjadi tujuan satu-satunya bagi mayoritas muslimin dunia untuk mengembalikan memori kejayaan masa-masa emas yang pernah ada. Yang hingga hari ini, dalam peringatan 53 tahun kejatuhan Palestina, Hari Media Al-Quds Internasional, suara-suara tersebut terus berulang dan belum menemukan titik terangnya.
“Palestina adalah soal Islam dan soal umat. Kita harus melihat bahwa soal Palestina itu bukanlah soal orang Arab. Bukanlah semata-mata soal teritorial, tetapi adalah soal Islam dan umat Islam seluruhnya,” terang Mohamad Natsir dalam sebuah orasi.
Presiden Soekarno juga pernah menyatakan, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel”.
“Masalah al-Quds dan Palestina adalah nurani tanah air kami dan palung sanubari umat kami, serta harta kami yang paling berharga,” ungkap pula Hasan al-Banna.
“Masjidil Aqsa milik umat Islam di seluruh dunia dan wajib bagi setiap muslim untuk menjaganya, memeliharanya, memuliakannya, mensucikannya, dan membelanya. Tidak ada alasan bagi kita untuk mengabaikannya,” ungkap Syekh Raid Shalah. Masih banyak lagi pernyataan-pernyataan para tokoh dunia dalam usahanya untuk memberikan pembelaan atas hak warga Palestina dan kecaman atas kejahatan Zionis.
Begitu banyaknya tumpahan darah para pejuang dan deraian air mata wanita beserta anak-anak menghujani setiap jengkal tanah dan jalan akibat kekejaman bangsa yang menganggap diri merekalah pemilik sah atas tanah suci. Mengapa umat Islam merasa penting untuk mempertahankan al-quds? Siapa sebenarnya yang berhak hidup di sana dan menempatinya?
Maka, di hari ini, saya berkeinginan untuk menulis sejarah singkat al-Quds (Yerusalem). Dengan tujuan untuk mengungkap fakta dan memberikan pencerahan bagi kita semua, terutama umat beragama Islam. Sebab, kita tahu bahwa Yerusalem adalah kota yang paling disucikan sekaligus diperebutkan di muka bumi. Beribu-ribu tahun, sejarahnya dipenuhi berbagai peristiwa yang menginspirasi jutaan manusia, tetapi juga tragedi-tragedi paling mengerikan.
Sebelum berangkat menelusuri sejarah Yerusalem, menurut Karen Armstrong, kita harus memahami tiga konsep yang saling berhubungan yang bakal muncul dalam babakan-babakan sejarah sehingga “kota tua” ini menjadi begitu memiliki makna yang mendalam.
Pertama adalah konsep tuhan (yang sakral). Ketika merenungi dunia, manusia selalu mengalami sesuatu yang transenden dan menjumpai misteri di jantung eksistensi segala sesuatu. Semua pasti mengalami hal itu, apa pun pendapat teologisnya. Sehingga manusia memerlukan suatu tempat suci di dunia yang profan untuk menghubungkan dirinya dengan yang sakral (Tuhan) untuk mengatasi segala kerisauan dan penderitaan rohani.
Konsep kedua adalah masalah mitos. Setiap agama samawi memiliki keyakinan bahwa Yerusalem memiliki akar sejarah dengan agama mereka, sehingga kota ini layak menjadi kota suci. Umat Yahudi menganggap kota ini adalah sebuah janji Yahweh untuk menegakkan ajaran Musa, umat Kristiani menganggap kota ini sebagai kelahiran sekaligus penyaliban sang Mesias, dan umat Islam lebih kompleks, yakni merupakan kotanya para Nabi dan tempat yang pernah disinggahi Muhammad saat peristiwa isra-mikraj.
Konsep terakhir adalah simbolisme. Bagi orang Yahudi, Kristen, dan Islam Yerusalem menjadi simbol sakral keilahian. Karena, bagi mereka, simbol religius punya kekuatan untuk menunjukkan ranah sakral. Sepanjang sejarah, yang sakral tidak pernah dialami secara langsung kecuali sedikit orang (baca: nabi). Maka, perlu simbol untuk mengantarkan manusia menuju yang sakral, dan salah satunya adalah tempat suci. Dengan tempat suci ini manusia akan merasa dekat dengan Tuhan.
Untuk memudahkan memahami sejarah singkat ini, perlu saya sebutkan terlebih dulu fase-fase perjalanan panjang ribuan tahun Yerusalem mulai awal hingga saat ini. Mulai dari kehidupan di bukit Zion yang kemudian diduduki bangsa Israel, bedirinya kota Daud, kota Yehuda, masa pembuangan dan kepulangan, masa Anthiokia di Yehuda, kehancuran, kota suci Kristen, Baitul Maqdis, perang salib, penaklukan Islam oleh Saladin, kesultanan Otoman, dan kembali lagi dikuasai oleh Israel (Zionis).
Fase-fase yang paling rumit sepanjang sejarah. Dari penguasaan pagan, kemudian jatuh ke bangsa Israel, dihancurkan lagi oleh pagan, kembali lagi ke monoteis namun kali ini bukan oleh Yahudi melainkan Kristen, dilanjutkan futuhat kaum muslimin, tumbang oleh kekuatan tentara Salib, kembali lagi ke pangkuan Islam, dan sekarang diduduki lagi oleh bangsa eksodus.
Kota Yerusalem (al-Quds) adalah sebuah wilayah terpencil pada masa Kanaan kuno. Tidak ada bukti sejarah yang konkret mengenai siapa yang pertama kali bermukim di bukit itu. Sejarah berawal saat para arkeolog menemukan wadah-wadah tembikar di atas bukit Ofel yang diperkirakan berasal dari masa 3200 SM. Pada masa itu, kota-kota mulai bermunculan di bagian-bagian lain dari Kanaan, kawasan yang menjadi Israel modern.
Hanya sedikit yang diketahui tentang kehidupan di Kanaan pada periode tersebut. Pada akhir abad ke-19 SM, para pemukim mulai merambah kawasan bukit dan membangun kota-kota seperti Megido, Hazor, dan Ako yang berkembang menjadi negara berbenteng. Sikhem menjadi kota benteng terkuat di bukit itu. Kota-kota lain, seperti Hebron dan Yerusalem juga berdiri di perbukitan selatan.
Pada titik inilah Yerusalem bisa dibilang memasuki sejarah. Arkeolog Inggris Kathleen Kenyon menemukan sebuah tembok kira-kira setebal dua meter di sepanjang lereng timur bukit Ofel dengan gerbang besar di dekat mata air Gihon. Kenyon juga menemukan tembikar yang kira-kira berasal dari sekitar tahun 1800 SM. Dan belakangan, benteng Zion dibangun di situ. Para pemukim barangkali tertarik pada Ofel karena dekat dengan Gihon. Namun, Ofel tidak mampu menampung populasi besar, sehingga mereka menyebar hingga ke lembah Kidron di timur, lembah Hinom di selatan dan sebelah baratnya terdapat lembah tengah yang sekarang telah tertimbun pasir, yang oleh sejarahwan Yahudi Flavius Josephus disebut sebagai lembah Tyropoeon.
Pada tahun 1925, seorang pakar membeli pecahan-pecahan tembikar kuno yang diperkirakan berasal dari masa kekuasaan Firaun Sesostris III (1878-1842 SM) yang ketika dirangkai kemudian membentuk piring besar dan guci bertuliskan teks Hieratik yang kemudian berhasil diterjemahkan. Tulisan itu memuat nama-nama kota kuno dan salah satunya kota itu adalah “Rushalimun”. Inilah pertama kalinya Yerusalem muncul dalam catatan sejarah.
Nama “Rushalimun” mungkin bisa diartikan sebagai dibangun oleh “Shalem”. Pada masa kuno, di Timur Dekat dan Mediterania, pembangunan permukiman dipandang sebagai tindakan ilahiah dan semua kota dipandang sebagai tempat suci. Suatu tatanan alam yang indah yang dianggap sebagai hierofani, pengungkapan ilahiah. Itulah mengapa kota sangat disucikan oleh orang-orang di masa kuno. Pada intinya, suatu keindahan dan tempat yang menakjubkan akan dijadikan sebagai sesuatu yang suci. Karena di situ tuhan hadir dengan segala kekuatan dan kekuasaannya. Seperti dalam keyakinan Yahudi atau Kristen, bukit Zion di sebelah utara Ofel di Yerusalem juga merupakan tempat suci.
Sebenarnya tidak ada informasi langsung mengenai kehidupan religius di (Kanaan) Yerusalem pada abad 18 SM. Selama abad ke-17 SM, para Firaun tidak begitu mempedulikan Yerusalem karena mereka sibuk dengan urusan dalam negeri. Kota ini berkembang menjadi negara-kota sepenuhnya tanpa serbuan tentara Mesir. Hingga sekarang, di Yerusalem tidak ditemukan tembikar yang berasal dari abad ke-17-15 SM. Kemungkinan pula, di kurun itu, Yerusalem musnah.
Berdasarkan fakta sejarah, kota ini kembali di huni manusia pada abad 14 SM. Pada masa itu, para Firaun menghadapi konflik dengan kerajaan baru Hitti di Anatolia dan bangsa Huria di Mesopotamia Atas. Para Firaun harus memastikan Kanaan, sebuah negeri transit yang penting, berada sepenuhnya di bawah mereka.
Pada 1486 SM, Firaun Thutmosis III memadamkan pemberontakan orang-orang Kanaan dan memaksa mereka untuk tunduk menjadi kekuasaan Mesir. Negeri ini kemudian dibagi menjadi empat distrik administratif. Para penguasanya otomatis menjadi raja bahawan Firaun. Mereka terikat sumpah setia dan diharuskan membayar upeti pada Mesir. Namun, para raja bawahan ini tetap bebas melakukan kebijakannya.
Orang-orang Hurria mulai memasuki Kanaan sejak awal abad 15 SM. Meskipun mereka tidak bermaksud menjajah, karena memiliki ras Aria, orang-orang Hurria mendapat kedudukan tinggi di negeri ini. Mereka mulai hidup berdampingan dan mengajarkan bahasa Akad mereka, yang menjadi bahasa diplomatik resmi, dan aksara paku.
Bangsa Hurria berpengaruh kuat di Yerusalem. Wilayahnya berkembang hingga mencapai daerah Sikhem dan Gezer. Penguasanya adalah Abdi-Hepa, yang namanya berasal dari bahasa Hurria. Namun, lambat laun Abdi-Hepa mendapat pertentangan dari berbagai wilayah. Mesir pada waktu itu pun tampaknya hanya sedikit memberi bala bantuan karena sedang berperang dengan bangsa Hitti atau Het. Terjadi berbagai kekacauan dan pemberontakan yang tidak bisa dicegah lagi. Karena kekacauan ini, banyak penduduk yang mulai meninggalkan daerahnya, sehingga populasi Yerusalem berkurang drastis pada abad ke-13 SM.
Di masa ini, datang bangsa baru dan bermukim di Yerusalem yang disebut oleh Bibel sebagai kaum Yebus. Bangsa Yebus memperbaiki benteng-benteng lama di Ofel dan membangun sebuah distrik baru di lereng timur.
Berbagai bangsa silih berganti masuk dan membaur dengan pendahulunya, meskipun ada yang musnah atau meninggalkan Yerusalem akibat kerusuhan-kerusuhan dan peperangan. Contoh yang saya sebutkan di atas adalah sebagian saja. Sebab menjadi sangat panjang jika dibahas secara detail. Semua bangsa itu pada dasarnya adalah orang-orang kuno yang memiliki kepercayaan pagan. Sebagaimana penamaan Yerusalem yang telah sedikit saya singgung, berakar dari kepercayaan pagan.
Hingga pada abad ke-11 SM, penduduk Kanaan menghadapi kekuatan baru di negeri itu. Sebuah kerajaan yang nantinya lebih besar dan sepenuhnya berbeda dengan segala entitas Kanaan sebelumnya. Kota Yebus di Zion mendapati dirinya terkepung oleh kekuatan baru yang agresif, bangsa Israel, yang akan mengubah takdirnya untuk selamanya.
Bangsa Israel adalah keturunan Yakub, cucu Ibrahim. Mereka berasal dari Mesopotamia. Selama beberapa waktu mereka menetap di Kanaan, tetapi sekitar 1750 SM dua belas suku Israel bermigrasi ke Mesir pada saat terjadi bencana kelaparan. Pada 1250 SM mereka melarikan diri dari Mesir di bawah pimpinan Musa karena keadaan yang semakin memburuk dengan perbudakan dan penindasan atas monoteisme yang bertentangan dengan kepercayaan Firaun.
Namun, di bawah Musa hingga wafatnya bangsa ini belum sampai juga ke negeri yang dijanjikan, dan pada akhirnya tahun 1200 SM di bawah arahan muridnya, Yosua (Nabi Yusak), dalam keterangan Bibel, meskipun sekarang telah banyak yang meragukannya, bangsa ini berhasil mendarat di tanah tersebut melalui jalur pedang. Setelah menguasai Kanaan, tiap-tiap suku memperoleh bagian kekuasaan sesuai kesepakatan. Namun, kaum Yebus tetap bertahan di Yerusalem bersama bani Yehuda. Pada akhirnya nanti Yerusalem menjadi sentral agama Yahudi yang sebenarnya pada awalnya, sebagaimana dijelaskan dalam Bibel, sebagai wilayah musuh.
Bersambung...
(Artikel ini diterbitkan pertama kali pada 7 Juni 2020)
Baca ulasan menarik lainnya dari Ubaidil Muhaimin