Buya Syafii Maarif: Pembela Kebenaran tanpa Tedeng Aling-Aling

"Tuhan pun tidak pernah netral dalam sejarah, Dia berpihak pada keadilan dan kebenaran, karena Dia Mahaadil dan Mahabenar," kata Buya Syafii dalam salah satu bukunya.

· 3 menit untuk membaca
Buya Syafii Ma'arif: Pembela Kebenaran tanpa Tedeng Aling-Aling
Foto: Dok. PP Muhammadiyah

Zawaya.id–Bangsa ini kembali berduka karena kehilangan sang guru bangsa, pejuang kemanusiaan yang mungkin tinggal satu-satunya di negeri ini. Seorang kakek bersahaja yang merupakan mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Buya Ahmad Syafii Maarif meninggal dunia di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta, pukul 10.15 WIB, Jumat (27/5/2022). Buya Syafii tutup usia pada umur 87 tahun.

Pada kesempatan ini, penulis ingin sedikit menuangkan secuil catatan singkat tentang Buya dan perjuangan kebangsaan dan kemanusiaannya. Tujuan saya adalah untuk sedikit mengingatkan (bukan mengenalkan, karena semua orang tentu mengenal beliau) kepada diri ini dan teman-teman pembaca sekalian tentang beliau. Dengan mengingat kembali peran beliau, diharapkan akan ada di antara kita yang meneruskan perjuangan besar tersebut. Tentu energi dan kemampuan kita tak sepadan dengan yang beliau miliki, tetapi dengan kekuatan persatuan dan semangat kebersamaan, maka usaha ini mungkin akan sedikit lebih ringan untuk kita lakukan ke depannya.

Ahmad Syafii Maarif, Ph.D. lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935. Menempuh pendidikan sejarah di Northern Illinois University (1973) dan memperoleh gelar M.A. dalam ilmu sejarah dari Ohio University, Athens, Amerika Serikat (1980). Meraih gelar Ph.D. dalam bidang pemikiran Islam dari University of Chicago, Amerika Serikat (1983), dengan disertasi “Islam as the Basic of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia”. Di bidang akademik, menjabat sebagai guru besar sejarah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), sekarang menjadi Universitas Negeri Yogyakarta; Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta, sekarang menjadi Universitas Islam Negeri; dan Universitas Islam Indonesia. Kini, tercatat sebagai Guru Besar Emeritus di Universitas Negeri Yogyakarta. Beliau pernah menjadi dosen tamu di Universitas Kebangsaan Malaysia dan McGill University, Kanada.

Di bidang sosial, beliau terlibat aktif dalam organisasi sosial Muhammadiyah, yang didirikan tokoh reformis Muslim Indonesia, Ahmad Dahlan, pada 1912. Perjalanan karirnya sangat cepat. Beliau adalah Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-1999) dan menjabat Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2000) menggantikan posisi Amien Rais yang terjun dalam dunia politik. Pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2000 di Jakarta, beliau terpilih sebagai pemimpin puncak di Muhammadiyah untuk periode 2000-2005. Meski banyak pihak yang memintanya untuk menjabat kembali, beliau memutuskan mundur dan menjadi Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2005-2010). Untuk mendorong proses demokratisasi dan pembangunan tata sosial yang inklusif, toleran, dan pluralis, dia bersama beberapa tokoh penting Muhammadiyah mendirikan MAARIF Institute for Culture and Humanity pada 2003.

Di dunia internasional, beliau adalah Presiden Internasional Conference on Religion for Peace (ICRP) yang berpusat di Amerika. Selepas menjabat Ketua PP Muhammadiyah, beliau berkonsentrasi mencurahkan gagasan dan pikirannya untuk masalah-masalah bangsa. Tulisan beliau mengalir di berbagai forum seminar dan media. Beberapa karya tulisnya antara lain adalah Gerakan Komunis di Vietnam, Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis?, Aspirasi Umat Islam Indonesia (Tulisan Bersama), Percik-Percik Pemikiran Iqbal (Bersama Mohammad Diponegoro), Dinamika Islam: Potret Perkembangan Islam di Indonesia, Duta Islam untuk Dunia Modern (Bersama Mohammad Diponegoro), Islam Kenapa Tidak! Dan Orientalisme dan Humanisme Sekuler (Bersama DR. M. Amien Rais), Masa Depan dalam Taruhan (2000), Mencari Autentitas (2004), Meluruskan Makna Jihad (2005), Menerobos Kemelut (2005), Menggugah Nurani Bangsa (2005), Tuhan Menyapa Kita (2006), Titik-Titik Kisar di Perjalananku (2009), dan Islam dala Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009), dan lain sebagainya.

Ketika mendengar nama Buya Syafii Maarif, maka tentu ingatan kita akan langsung tertuju pada seorang yang bersahaja, santun, zuhud, dan welas asih. Selain itu, ketegasan dan keteguhan prinsip atas nilai-nilai kemanusiaan juga tak lepas dari kepribadiannya. Kita tahu bahwa manusia di bumi ini milyaran jumlahnya, tetapi dari sekian milyar anak manusia itu, hanya beberapa gelintir saja yang mencurahkan jiwa raganya untuk kemanusiaan dalam arti yang paling dalam. Dan salah satunya adalah Buya Syafii Maarif yang kita kenang ini.

Pandangan dan gagasannya yang humanis itu selalu mewarnai setiap tulisan atau kiprah beliau dalam mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa diragukan lagi, sebagaimana sudah saya paparkan di atas, tulisan beliau kental sekali terhadap isu tersebut.

Dan salah satunya adalah buku yang berjudul “Gilad Atzmon: Catatan Kritikal tentang Palestina dan Masa Depan Zionisme”. Buku ini merupakan pandangan beliau terkait nasib rakyat Palestina yang mengalami penderitaan atas kebiadaban Zionis Israel.

Beliau tanpa tedeng aling-aling mengatakan dengan tegas dalam pengantar buku tersebut:

“Tentang penulisnya (Buya Syafii Maarif) yang berpihak pada nasib rakyat Palestina, itu memang sebuah pilihan pribadi yang harus dilakukan. Tuhan pun tidak pernah netral dalam sejarah, Dia berpihak pada keadilan dan kebenaran, karena Dia Mahaadil dan Mahabenar. Bagi saya, derita Palestina adalah bagian dari derita kita semua”.

Kalimat ini menurut saya sungguh membuat saya merinding dan menggetarkan jiwa. Bagaimana tidak, seakan Buya ingin menegaskan sebuah sikap yang sangat tidak populer untuk seorang tokoh bangsa yang berpengaruh. Alih-alih memilih jalan aman, beliau menegaskan dirinya untuk tidak “netral” dalam kebenaran dan keadilan. Jadi, suatu kebenaran menurut beliau harus diperjuangkan meskipun banyak yang tidak peduli atau takut menyuarakannya. Hal ini berbeda dengan keadaan kebanyakan kita saat ini yang bersembunyi di “zona aman” dan bahkan melacurkan kebenaran demi sedikit “cuan”.

Akhir kata, selamat jalan sang pejuang kebenaran, jalanmu kini semakin sunyi, entah sampai kapan kesunyian ini akan bertahan?


Baca juga tulisan terkait tokoh dan artikel menarik lainnya dari Ubaidil Muhaimin