Ngaji bersama Bapak Kiai Ntus: Tafsir Surat Al-Insyirah

Kiai Tubagus Ahmad Rifqi menganggap surah Al-Insyirah sangat cocok dan sesuai untuk dikaji sebagai bekal menghadapi resesi dunia.

· 3 menit untuk membaca
Ngaji bersama Bapak Kiai Ntus: Tafsir Surat Al-Insyirah

Alhamdulillah, saya kembali diberi kesempatan untuk menuliskan kembali kajian yang diampu oleh Kiai Tubagus Ahmad Rifqi. Beliau akrab dipanggil Bapak Entus. Pada kajian kali ini, beliau memilih menjelaskan tafsir dari surah Al-Insyirah.

Surah ini tergolong surah makiyah, surah yang turun sebelum Nabi hijrah. Tapi isi dan kandungannya seakan seperti sura madaniyah (surah yang turun setelah Nabi hijrah).

Kiai Tubagus Ahmad Rifqi menganggap surah Al-Insyirah sangat cocok dan sesuai untuk dikaji sebagai bekal menghadapi resesi dunia. Sebab, surah ini turun sebagai penghibur untuk Rasulullah di kala beliau begitu terpuruk. Melalui surah ini, Allah menghibur dan meyakinkan beliau agar selalu optimis melaksanakan perintah-Nya.

Surah Al-Insyirah diturunkan ketika ada sebuah kejadian buruk yang menimpa Nabi Muhammad. Masyarakat kafir Quraisy tak henti-hentinya mengintimidasi Nabi, karena saat itu beliau hidup dengan kondisi yang sangat sederhana. Mereka menghina, memojokkan, mencaci-maki, dan mengajak para pengikut Nabi untuk meninggalkan Islam.

Dengan begitu sombong, mereka memprovokasi Nabi, "Wahai, Muhammad, kembalilah pada ajaran kami. Apapun yang kau cari, ada; harta, makanan, kenyamanan, apa pun ada!" Pernyataan Kafir Quraisy ini membuat hati Nabi begitu sakit.

Sampai akhirnya turunlah ayat pertama surah Al-Insyirah:

اَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

Bukankah Kami (Allah) telah melapangkan hatimu, (Muhammad)?

Para ulama merepresentasikan makna ayat di atas dengan "bukankah kami (Allah) telah membuat hatimu halus (toleran)".  Dengan artian, "kehalusan hati" itu adalah hati yang terisi hikmah dan keimanan. Hikmah sendiri bermakna ilmu dan kebijakan yang transenden-holistik. Hal ini berhubungan dengan kisah masyhur, yaitu ketika Nabi dibelah dan disucikan dadanya oleh Jibril AS. Proses penyucian ini juga disertai proses pengisian dada Nabi dengan ilmu dan hikmah.

Hal ini sesuai hadis Nabi, "Apabila hati seorang mukmin terisi oleh nur Allah, maka jadi lapanglah hati dan hilanglah kegundahannya."

Para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud cahaya yang merasuk ke dalam hati itu, ya, Rasulallah?"

Nabi menjawab, "Tiga ciri seseorang yang hatinya terisi nur Allah. Pertama, dia tidak terkesima dengan gemerlap kehidupan dunia. Kedua, hatinya selalu menghadap ke depan, ke arah masa depan (kehidupan sesungguhnya), yakni akhirat. Ketiga, selalu bersiap-siap menghadapi kematian, jauh sebelum ajalnya datang."

Ayat ke dua surah ini:

َوَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَك
Dan telah kami kurangi dosamu.

Lafalz وزر  juga bisa dimaknai "beban", sehingga ayat di atas bermakna: "Dan kami (Allah) telah mengurangi bebanmu." Namun, Imam Mujahid mengartikan ayat ini semakna dengan "Aku ampuni dosamu."

َالَّذِيْ أَنْقَضَ ظَهْرَك
Yakni beban yang memberatkan punggungmu.

Karena banyak ulama yang memaknai وزر dengan arti "dosa", banyak pula yang bertanya: apakah Rasulullah memiliki dosa yang sampai memberatkan hidupnya? Bukankah Rasulullah adalah makhluk maksum?

Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh para ulama, bahwa yang dimaksud "dosa" di sini adalah dosa Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi nabi-rasul. Namun, Meski belum diangkat menjadi nabi, beliau bukanlah penyembah berhala, sebagaimana para jahiliyun. Dan meski beliau hidup di zaman bertatanan sosial yang carut-marut, beliau tetapa bertahan, dan membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Inilah maksud penafsiran lafaz وزر di atas. Adapun setelah diangkat menjadi nabi dan rasul, tentu saja beliau maksum.

Di ayat berikutnya Allah memberikan kabar gembira:

َوَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَك
Dan kami (Allah) telah meluhurkan sebutanmu (Muhammad).

Setelah Allah mengangkat beban-beban Nabi Muhammad, mengampuni dosa-dosanya, Ia lantas menjadikan Nabi Muhammad sebagai makhluk berderajat tertinggi. Allah mengangkatnya menjadi nabi dan rasul.

Ulama menafsirkan ayat di atas dengan makna: "Aku jadikan ketaatan kepadamu, sama dengan ketaatan kepada-Ku." Tafsir ini menggambarkan betapa Allah memuliakan kedudukan Nabi Muhammad.

Saking tinggi derajat Nabi Muhammad, dikatakan bahwa: "Di mana pun nama-Ku (Allah) disebut, pasti namamu (Muhammad) disebut." Sayyid Abdullah bin Abbas mengatakan bahwa nama Rasulullah selalu disebut di mana-mana. Di masjid, dalam dua kalimat syahadat, dan setiap salat. Hal demikian menunjukkan bahwa Allah menempatkannya pada derajat mulia.

Ayat selanjutnya berisi jaminan kemudahan:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Sesungguhnya dalam kesulitan, ada kemudahan

Menurut para ulama, dalam kefakiran, akan selalu ada kekayaan. Dalam kesempitan, ada kelapangan. Dalam kesedihan, ada kebahagiaan. Dalam setiap kondisi pelik, pasti ada kesenangan.

Allah telah membuktikan kebenaran kalam-Nya. Tak terlepas dari sunah Tuhan, Nabi pun mengalami hal tersebut, yakni mendapatkan kebahagiaan setelah semua kesedihan yang diderita selama menyebarkan dakwah. Di akhir hayatnya, Rasulullah menguasai hampir seluruh Makkah, Madinah, Yaman, Tihamah, bahkan Iraq dan Palestina. Pun, beliau memiliki harta yang berlimpah-ruah.

Ada sebuah hadis yang menguatkan ayat di atas. Rasulullah bersabda:
ِلَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْن
Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.

Para ulama dibuat bingung oleh hadis di atas. Sampai akhirnya ulama ahli ilmu gramatikal bahasa Arab, Imam Al Farra' mengatakan, bahwa apabila dalam sebuah kalimat terdapat isim nakirah yang diulang, maka isim nakirah yang kedua itu mafhumnya tidak sama dengan isim nakirah pertama. Artinya, dua lafaz "يسرا / yusran" pada ayat di atas adalah dua kemudahan yang berbeda. Sementara isim ma'rifat, jika diulang dalam satu kalimat, tetap bermakna sama. Lafaz "عسر"   pertama maupun kedua memiliki makna yang sama. Inilah penjelasan Imam Al-farra' atas dawuh Nabi di atas.

Benar, setiap ayat dalam surah ini menjadi penghibur bagi Rasulullah SAW. Dan tentu saja juga penghibur bagi umatnya. Sebagaimana yang sudah didawuhkan para ulama bahwa ِخِطَابٌ لِرَسُوْلِ اللّهِ خِطَابٌ لِأُمَّتِه
Wacana yang Allah tetapkan untuk Rasulullah, juga berlaku bagi umatnya.

Ayat selanjutnya

ْفَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَب

"Maka apabila kau telah selesai (mengerjakan urusan), maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain!"

ْوَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَب

"Dan cintailah Tuhanmu!"

Dua ayat terakhir ini mengandung dorongan untuk melanjutkan ibadah fardu dengan ibadah lainnya. Yang dimaksud dalam kata "فانصب" adalah perintah untuk berdoa. Berdoa setelah melakukan segala ibadah wajib. Tentu saja, dorongan untuk melantunkan doa ini disertai dengan perintah untuk mencintai Allah, dzat yang Maha Derma.

Wallahualam.