Ijtihad dalam Sudut Pandang Al-Dihlawi (2): Pembaharuan Hukum Islam

Al-Dihlawi berprinsip tidak boleh ada suatu aktivitas yang keluar dari sumber asasi (Al-Qur’an dan sunah).

· 4 menit untuk membaca
Ijtihad dalam Sudut Pandang Al-Dihlawi (2): Pembaharuan Hukum Islam
Potret Syekh Waliyullah al-Dihlawi. Sumber: swarajyamag.com

Kita tahu, Al-Dihlawi adalah salah seorang tokoh mujtahid yang mempunyai metode istinbat al-ahkam dan karakteristik tersendiri walaupun dia masih mengikuti usul dari mazhab-mazhab yang sudah ada. Namun, dengan konsep ijtihadnya, Al-Dihlawi mencoba tidak terikat dengan mazhab tertentu, baik masalah teologi, filsafat, sosiologi, mistisisme, fikih, usul fikih, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Al-Dihlawi menampilkan corak pemikiran hukum Islam yang khas dan genuine yang didasarkan pada budaya masyarakat India.

Ide pembaruan paling mendasar yang dikemukakannya, yakni kembali kepada Al-Qur’an dan sunah. Sama seperti para modernis lainnya, ketika menyuarakan ide-ide purifikasi, Al-Dihlawi berprinsip tidak boleh ada suatu aktivitas yang keluar dari sumber asasi (Al-Qur’an dan sunah). Ketika suatu realitas kehidupan tidak tertuang secara jelas dalam kedua sumber asasi Islam, maka dibutuhkan kreativitas mujtahid dalam mencari jawabannya.

Prinsip-prinsip yang dipegang tersebut pada akhirnya memunculkan corak pemikiran Al-Dihlawi yang mengedepankan pendekatan tatbiq (penerapan) sebagai cara sistematis untuk memahami Al-Qur’an dan hadis. Tatbiq menyediakan metode untuk melakukan istinbat al-ahkam, sekaligus memberikan arahan yang jelas bagaimana menerapkannya. Selain itu, Al-Dihlawi adalah sosok yang menggabungkan sejarah nabi, secara sistematis, dalam melihat hukum Islam, dan menjelaskan bahwa aturan sosial yang diberikan para nabi itu dapat secara rasional diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada masanya masing-masing.

Untuk itu, ia berusaha mengintegrasikan beragam ilmu pengetahuan Islam; mulai dari hadis, fikih, teologi filsafat dan sufisme, yang menurut hemat penulis, semua itu dilakukan untuk mendekati Islam sebagai sebuah agama yang “dinamis” dan dapat diterapkan sesuai dengan konteks zamannya.

Argumen itu bisa dijumpai dalam berbagai pemikiran hukum Islamnya. Ketika menyikapi beberapa perbedaan pendapat imam mujtahid pendahulunya, sebagai hasilnya, ia mencoba menghindari perbedaan yang muncul dalam pendapat-pendapat dengan mengajukan beberapa argumentasi tentang perbedaan para mujtahid.

Di antaranya, pendapatnya mengenai perbedaan penguasaan ilmu mujtahid setelah tabi’in, perbedaan metode dalam istinbat al-ahkam, perbedaan dalam menyikapi nas baik Al-Qur’an atau sunah. Tak heran jika Al-Dihlawi dalam buku-bukunya selalu menekankan urgensi ijtihad sebagai upaya menghidupkan syariat Islam, baik hasil ijtihad tersebut sesuai dengan ulama masa lalu atau bertentangan. Bahkan, melalui teori ijtihadnya, dia mencoba memecahkan problem hukum Islam yang terjadi pada masa hidupnya.

Kemampuannya dalam mengeksplorasi pendapat semua ulama yang pernah muncul untuk menemukan pendapat yang paling kuat dan relevan untuk konteks kekinian, walaupun dalam beberapa hal dia harus memunculkan hukum baru karena ulama-ulama dulu tidak mengkaji dan memproduksinya.

Dinamika yang ada dalam masyarakat modern—dengan karakteristik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hari ini, berimplikasi kepada perubahan-perubahan nilai dalam masyarakat sehingga membuat hukum tertinggal dari perkembangan masyarakat. Situasi dan kondisi demikian tak diragukan lagi, menuntut upaya tatanan hukum baru yang dapat memberikan solusi bagi perkembangan peradaban umat manusia (di masa yang akan datang). Karena itu, terobosan yang dilakukan Al-Dihlawi mampu menjawab kesenjangan yang ada.

Model ijtihad Al-Dihlawi selalu mewarnai karya-karyanya dalam membahas masalah-masalah aktual di masyarakat. Beberapa manhaj dan prinsip tujuan hukum Islam ini ia derivasikan terhadap semua permasalahan fikih yang muncul. Mulai masalah ibadah, muamalah, munakahah, jinayah, jihad dan sebagainya.

Banyak para pemikir dan pengkaji hukum Islam masa sekarang memperdebatkan metode (manhaj) yang digunakan oleh tokoh pembaharu hukum Islam yang satu ini. Sebagian menilai bahwa beliau adalah seorang pemikir rasionalis yang berhaluan revivalisme pramodernis dan sebagian yang lain menilai sebaliknya atau fundamentalis.

Tepat atau tidak penggolongan itu, Al-Dihlawi adalah sarjana dari India yang sangat menghormati warisan pemikiran para ulama terdahulu (dari masa klasik sampai masa pertengahan). Meski demikian, ia tidak fanatik terhadap mazhab tertentu. Justru, sikap fanatik dalam bermazhab, menurutnya, akan berakibat kontraproduktif terhadap perkembangan hukum Islam itu sendiri.

Ekspresi kekaguman terhadap Al-Dihlawi ditunjukkan oleh Sayid Sabiq ketika memberikan pengantar terhadap buku Hujatullah al-Balighah-nya Al-Dihlawi. Sayid Sabiq menyatakan bahwa kitab ini adalah kitab yang sangat berharga dan langka dalam menjelaskan tentang rahasia hukum-hukum syariat beserta filsafat hukum Islam.

Bahasan Ijtihad Al-Dihlawi tersebut akan diimplementasikan terhadap persoalan-persoalan yang timbul di tengah-tengah masyarakat Islam. Tentunya, dari istinbat tersebut, nantinya akan menghasilkan produk hukum yang disebut fikih. Dari situlah (nanti) fikih yang merupakan bagian dari syariat Islam yang ilahiyah, dan posisinya sebagai produk ijtihadi akan memiliki karakteristik sesuai dengan metode yang dipakai dalam mengeluarkan hukum. Lebih dari itu, konsep ijtihad Al-Dihlawi juga melahirkan berbagai nuansa pemikiran sebagai respons atas sejumlah tantangan dan persoalan hukum, legal problems, sehingga fikih terkesan dinamis.

Lebih jauh lagi, bila melihat masa depan masyarakat dunia–yang menurut Futurulog Amerika, John Naisbit dan Patricia Aburdune disebut sebagai masyarakat global–menjelang abad ke-21 ada sepuluh tren yang akan menaungi dan mempengaruhi kehidupan manusia. Pertama, bom ekonomi global tahun 1990-an; kedua, renaisans dalam seni; ketiga, munculnya sosialisme pasar bebas; keempat, gaya hidup global dan nasionalisme kultural; kelima, penswastaan negara kesejahteraan; keenam, kebangkitan tepi pasifik; ketujuh, dasawarsa wanita dalam kepemimpinan; kedelapan, abad biologi; kesembilan, kebangkitan agama milenium baru, dan kesepuluh adalah kejayaan individu.

Jika apa yang diprediksikan oleh dua Futurulog itu benar, maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat banyak atau sedikitnya niscaya akan berubah. Masalah dalam lapangan perekonomian yang dibicarakan oleh para fukaha tentang muamalah atau transaksi satu abad yang lalu, niscaya sudah jauh tertinggal dari apa yang dipermasalahkan dewasa ini, apalagi untuk dasawarsa yang akan datang.

Dalam menghadapi problem demikian, diperlukan hukum yang dilandasi oleh prinsip-prinsip yang luwes. Hal ini mungkin dapat mengutip prinsip-prinsip hukum yang dikembangkan oleh ulama terkemuka seperti, Shah Waliyullah yang tampak lebih jauh menatap masa depan. Demikian, Ijtihad dalam hukum Islam akan dapat dikembangkan untuk mengantisipasi masa depan umat Islam.

Ringkasnya, peranan pemikiran hukum Shah Wali Allah al-Dihlawi, secara sosiologis masyarakat modern, telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam khazanah pemikiran hukum Islam di dunia Islam modern. Pendapat-pendapatnya dalam bidang fikih sangat dibutuhkan bahkan diambil oleh umat Islam di dunia. Sebab, fatwa-fatwanya memungkinkan untuk lebih bisa diterima dan dilaksanakan oleh umat Islam. Wallahu a’lam bisshawaab.


Baca juga tulisan lain terkait kajian dan artikel menarik lainnya dari Salman Akif Faylasuf


Related Articles

Ijtihad dalam Sudut Pandang Al-Dihlawi (1)
· 4 menit untuk membaca
Firkah Non-Aswaja: Hizb al-Tahrir
· 3 menit untuk membaca
Firkah Non-Aswaja: Hizb al-Ikhwan
· 5 menit untuk membaca