Lingkaran Pertemanan dan Bias Kognitif dalam Tradisi Kritik

Ada satu hal yang semestinya juga kita pelajari: membedakan mana kritik yang bisa kita utarakan secara terbuka, dan kritik yang sebaiknya dibicarakan dalam ruang-ruang privat.

· 4 menit untuk membaca
Lingkaran Pertemanan dan Bias Kognitif dalam Tradisi Kritik
Sumber gambar: pixabay.com

Zawaya.id–Baru-baru ini jagat Twitter sedang ramai soal cuitan influencer yang mengisahkan pengalamannya di sebuah kedai. Warganet menilai influencer tersebut terlampau arogan untuk hal yang mereka anggap sepele. Lebih dari itu, yang juga memicu kontra dari banyak pihak adalah, imbas dari unggahan tersebut: rating buruk untuk kedai roti yang dikisahkan. Buntut panjang yang terjadi bisa ditebak: utas baru—sebagai tanggapan—yang dialamatkan kepada pemilik akun dan ribuan komentar bernada sinis. Jika dilihat-lihat, utas tanggapan atau balasan di kolom komentar cuitan awal itu, bisa dikelompokkan menjadi dua hal: kritik yang konstruktif dan kalimat asal-asalan berkedok kritik yang isinya hanya merisak pemilik akun.

Kondisi seperti itu adalah fenomena yang lazim kita jumpai di media sosial. Hal yang justru menarik dari drama di atas adalah, bagaimana warganet mempertanyakan dan mengolok teman-teman si pemilik akun, karena dirasa tidak objektif dalam melihat permasalahan tersebut. Penilaian rakyat Twitter atas teman-teman si pemilik akun tersebut, didasari oleh temuan warganet bahwa, hampir tak ada teman dekat dari pemilik akun yang membuat utas tanggapan atau sebaris-dua baris pernyataan di media sosial. Seketika muncul pertanyaan dalam benak saya: memangnya kritik dan objektivitas kita harus selalu dipertontonkan di media sosial?

Jawaban atas pertanyaan tersebut dalam konteks kasus di atas, ada baiknya jika dirunut dari persoalan relasi pertemanan. Selama ini, persepsi yang muncul di kepala kita tentang relasi pertemanan tak jauh-jauh dari hal ini: sungkan mengkritik teman dekat. Namun, tampaknya tren tersebut mulai bergeser. Orang-orang mulai berani mengkritik teman dekatnya, baik dengan cara guyonan, maupun bincang-bincang serius tapi tetap dalam keadaan tenang. Bagi saya, itu adalah sebuah perkembangan yang bagus. Mengapa begitu?

#Womansupportwoman yang Disalahpahami
Woman support woman bisa dimaknai sebagai sebuah keyakinan bahwa perempuan adalah bagian dari kelompok rentan yang, dengan seluruh pengalaman biologis maupun sosialnya, diharapkan bisa saling mendukung.

Setiap orang di dunia ini, tanpa terkecuali, memiliki bias kognitif berupa blind spot (area/titik tak terlihat). Istilah tersebut pertama kali dikenalkan oleh pakar psikologi sosial dari Princeton University, Emily Pronin. Blind spot digunakan untuk menggambarkan kondisi, di mana seseorang menganggap bahwa dirinya adalah yang paling benar, dan tidak menyadari bahwa ada banyak bias yang sebenarnya tersembunyi. Bagaimana kita bisa menengok blind spot yang ada dalam diri kita? Salah satunya adalah lewat kritik dari orang lain, termasuk teman.

Pergeseran tren—lebih berani menegur atau mengkritik teman—yang berkembang akhir-akhir ini, menandakan bahwa ada perubahan persepsi soal relasi pertemanan, kritik, dan memaknai kata sayang cum peduli. Jika kebanyakan dari kita pernah berada pada fase menganggap wujud menyayangi dan peduli sama halnya dengan mendukung apa pun yang dilakukan, tanpa berusaha melihat secara objektif, maka hari ini, pandangan tersebut terasa tidak relevan lagi. Pertemanan yang sehat justru tercipta tidak hanya dari guyonan dan makan-makan bersama, tapi juga lewat teguran-teguran kecil yang bisa membuat bertumbuh.

Kembali pada kasus yang terjadi di Twitter. Hemat saya, kritik atas buah pikir atau perilaku seseorang, termasuk kawan dekat, bisa disampaikan dalam berbagai bentuk. Blunder yang dilakukan oleh teman kita di media sosial, tak wajib untuk kita tegur di media yang sama. "Kewajiban" kita hanya mengkritik jika terdapat kekeliruan. Soal disampaikan lewat jalur apa, itu lain perbincangan.

Ada satu hal yang semestinya juga kita pelajari: membedakan mana kritik yang bisa kita utarakan secara terbuka, dan kritik yang sebaiknya dibicarakan dalam ruang-ruang privat. Berpikir kritis dan bersikap objektif itu perlu, juga bagus. Tetapi, kita tidak boleh mengesampingkan realitas bahwa, setiap orang, apalagi memiliki kedekatan relasi, cenderung akan kecewa jika ditegur di depan publik.

Kaitannya dengan relasi pertemanan, hal itu berpotensi memunculkan konflik. Jika sudah begitu, rasa-rasanya kita harus sedikit belajar realistis. Tidak semua kebenaran objektif bisa kita paksakan dengan cara-cara "garang", seperti yang selama ini berkembang. Persepsi kita ihwal objektivitas juga pelan-pelan harus dibenahi.

Barokah dan Dilema Santri yang Takut Kualat
Sesungguhnya keberkahan itu ada pada diri nabi dan rasul, juga pada hamba-hamba yang saleh, pada orang-orang alim; yang senantiasa menyebarkan ilmunya, memerangi kezaliman, dan kebaikannya mengalir kepada sekitarnya.

Selama ini kita disuguhi dengan ingatan-ingatan yang menunjukkan bahwa objektivitas berbanding lurus dengan kritik secara terbuka. Jika tidak hati-hati, kita bisa terjebak dalam bias availability heuristic. Bias tersebut membuat kita begitu simplistis dalam menarik kesimpulan. Dalam hal ini, anggapan bahwa objektif sama dengan terlihat mengkritik di depan umum dan diam berarti membela, adalah buah dari bias tersebut.

Objektivitas memang harus senantiasa dijunjung. Kebenaran harus dikatakan, kekeliruan pun sudah sepatutnya mendapat teguran. Berbagai blind spot dalam diri kita semua, juga harus ditengok lewat bantuan orang lain. Tetapi, yang tidak kalah penting adalah kebijaksanaan kita dalam penyampaian kritik. Satu hal lain yang juga tak boleh luput adalah, ada baiknya jika sesekali "menguji" keyakinan kita soal, apakah objektivitas atas sesuatu harus selalu dipertontonkan lewat kritik-kritik garang di media sosial.


Baca juga tulisan dari Hikmah Imroatul Afifah yang lain.

Related Articles

Bahkan Pemimpin Pun Mematuhi Putusan Hakim
· 3 menit untuk membaca
Sekotak Susu “Punya Mama”
· 3 menit untuk membaca
Menolak Taklid Buta kepada Influencer
· 3 menit untuk membaca
Tahun Baru (2023): Harapan VS. Dosa-Dosa Masa Lalu
· 2 menit untuk membaca
#Womansupportwoman yang Disalahpahami
· 4 menit untuk membaca