Zawaya.id—Sebagai manusia yang berperadaban, kita tumbuh bersama nilai-nilai yang luhur. Sejak kecil, kita senantiasa diajari dengan norma-norma. Jangan berbohong; berkatalah dengan jujur. Tunaikanlah amanah dan jangan berkhianat. Tolong menolonglah terhadap sesama. Juga banyak kebaikan-kebaikan lain yang selalu diajarkan kepada kita.
Meski begitu, saat kita bertumbuh dewasa, seringkali kita menemui hal-hal yang bertentangan dengan hal-hal yang kita yakini sebagai kebenaran. Banyak sekali kebohongan, pengkhianatan, ketidakacuhan, bahkan pembunuhan yang dipertontonkan dengan gamblang dihadapan semua orang.
Orang-orang yang berusaha tetap memegang erat nilai-nilai kebaikan di atas, sekarang ini, adalah kaum yang terasing. Belum diketahui, berapa jumlah populasi orang baik. Belum ada penelitian tentang itu. Atau, sebenarnya sudah, tetapi memang banyak orang yang sudah tidak jujur sejak mengisi kuesioner tersebut. Namun, yang jelas, kita dengan mudah menyaksikan hal-hal buruk di muka bumi ini.
Kata etika, belakangan ini, menjadi semakin sering kita dengar. Lebih-lebih sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa bulan lalu. Banyak pihak menyatakan bahwa putusan yang dikeluarkan MK, saat itu, penuh kontroversi. Sebab, pimpinan MK saat itu adalah paman dari orang yang disebutkan dalam gugatan. Anwar Usman, merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka, sekaligus saudara ipar dari Presiden Joko Widodo.
Tak lama setelah ramai diperbincangkan publik. Dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Meskipun tak bisa menganulir keputusan MK terkait putusan batasan minimum usia calon wakil presiden, MKMK menyatakam bahwa terjadi pelanggaran etik berat. Oleh sebab itu, akhirnya, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, diberhentikan dari jabatannya.
Senada dengan itu, saya ingin mengajak teman-teman sekalian, untuk kembali mengingat-ingat cerita hebat di masa lampau. Cerita tentang betapa keadilan dijunjung tinggi. Cerita dari seorang pemimpin sebuah negara yang menerima putusan hakim dengan penuh legowo.
Alkisah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kehilangan baju perangnya. Kala itu, baju perang merupakan barang berharga–sebagaimana peralatan-peralatan perang seperti baju anti peluru atau lainnya yang merupakan barang mahal di zaman sekarang. Kemudian, Ali bin Abi Thalib menemukan baju perangnya dibawa oleh seorang ahli kitab (bisa berarti Yahudi maupun Nasrani).
Tak lama kemudian, Ali bin Abi Thalib mengadu kepada hakim yang berwenang di masa itu. Dalam sebuah persidangan, Ali menyampaikan, "Baju perang yang dibawa lelaki itu adalah milikku, aku tak merasa pernah menjualnya ataupun memberikannya kepada siapa pun."
Hakim mengangguk, ia menoleh kepada lelaki itu seraya berkata, "Apa yang hendak kamu sampaikan atas dakwaan amirul mukminin?" Lelaki itu menjawab dengan tegas, "Ini baju perangku sendiri. Amirul Mukminin telah berbohong."
Persidangan masih berlanjut, kali ini, sang hakim meminta bukti atas dakwaan Ali, "Apakah engkau memiliki bukti, wahai amiral mukminin?" Mendengar pertanyaan itu, Ali pun tertawa. Ia menertawakan dirinya sendiri yang berada di ambang kekalahan. Ali menjawab permintaan hakim, "Aku tak memiliki bukti apa pun, Yang Mulia." Dengan mudah, hakim memutuskan bahwa baju perang itu adalah milik lelaki ahli kitab.
Persidangan selesai.
Setelah persidangan selesai, Amirul Mukminin melihat kearah lelaki itu, ia tak melangkah ke mana pun, tetiba ia berkata, "Aku bersaksi, inilah aturan para nabi, Amirul Mukminin membawaku ke pengadilan, lalu lihatlah! Apakah hakim membuat keputusan yang condong untuknya?! Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah."
Lelaki itu menambahkan, "Wahai Amirul Mukminin, sebenarnya ini adalah baju perangmu. Ketika perang Shifin bergejolak dan para tentara telah berangkat, baju perang ini jatuh dan aku menemukannya." Amirul Mukminin menjawab, "Ambillah baju perang ini, ia milikmu sekarang."
Cerita di atas menunjukan kebesaran hati Khalifah Ali bin Abi Thalib menerima putusan hakim, meskipun ia yakin bahwa baju perang itu adalah miliknya. Hanya karena ia tak mampu mendatangkan saksi dan bukti, ia harus menerima putusan hakim yang, tentu saja, pahit baginya.
Namun, demikianlah sikap kesatria yang dimiliki Khalifah Ali. Ia tak menggunakan jabatan dan nama besarnya untuk mengintervensi keputusan hakim. Semua setara di hadapan hukum. Barang siapa tak mampu mendatangkan saksi dan bukti, niscaya ia akan kalah di meja hijau.
***
Cerita di atas bukanlah dongeng, bukan juga fiksi. Cerita di atas adalah cerita nyata, cerita dari manusia yang hidup sekitar satu setangah abad yang lalu. Semoga kehidupan yang penuh dengan keadilan akan terulang.
Semoga!
Baca juga tulisan menarik lain dari Muhammad Burhanul Umam.