Tidak Semua Harus Jadi Gus dan Ning

Di balik potret jalan-jalan, makan-makan, dan bertemu lingkar pertemanan yang baik, ada hal-hal yang sekuat hati untuk tidak mereka bagikan ke publik. Yang barangkali terhalang oleh penglihatan kita adalah: bagaimana Gus dan Ning menjalani laku tirakat.

· 3 menit untuk membaca
Tidak Semua Harus Jadi Gus dan Ning

“Setelah lulus mondok, kamu ingin ngapain?”
“Jadi istrinya Gus.”
“Penak kayane nduwe bojo Ning.”
“Enak, ya, jadi gus dan ning itu.”

Cuplikan percakapan di atas bukanlah cuplikan dialog sebuah teks drama atau sebuah cerpen, melainkan, kalimat yang diucapkan dalam kehidupan nyata. Percaya atau tidak, media sosial memang membuat kita mudah sekali membandingkan jalan hidup sendiri dengan cerita hidup orang lain. Tidak hanya itu. Beberapa bahkan terobsesi untuk memiliki garis nasab dan nasib yang sama dengan kepunyaan orang lain. Dalam hal ini, beberapa santri acap kali membandingkan hidupnya dengan gus dan ning (sebutan untuk putra-putri kiai-bu nyai), lalu muncul obsesi untuk menjadi keduanya—sebab gus dan ning dianggap berlimpah privilese.

Sebagai manusia biasa, dihinggapi perasaan insecure, terjebak dalam scarcity mindset, dan sesekali berharap memiliki sesuatu yang lebih adalah perasaan yang valid. Menginginkan kehidupan layaknya keluarga dalem pesantren juga bukan merupakan suatu dosa. Tapi, ada beberapa hal yang sebaiknya direnungkan kembali, saat kita sudah dijangkiti obsesi.

gus dan ning, sebagaimana kita, tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih nasab dan nasib mereka. Terlahir menjadi putra-putri Kiai dan Bu Nyai atau tokoh masyarakat adalah sesuatu yang sama sekali di luar kuasa mereka. Begitu pula kita, tak punya kuasa untuk menentukan lahir dari rahim siapa. Soal privilese, saya kira nasab bukanlah satu-satunya jenis privilese yang ada di dunia ini. Lalu tentang lingkar pertemanan, saya pikir, itu adalah sesuatu yang sangat bisa kita upayakan. Kita sangat bisa memilih sistem pendukung seperti apa yang akan mengelilingi kehidupan kita. Teman yang baik tidak dilihat dari silsilah keluarganya, melainkan, seberapa ia setia membiarkan kita menjadi diri sendiri dan mendukung kita untuk selalu bertumbuh.

Konten-konten yang tampak di akun media sosial gus dan ning itu, sepenuhnya adalah hak mereka. Lagi-lagi, selayaknya kita, mereka juga bebas membagikan apa saja di akun media sosial masing-masing. Kalaupun yang tampak di mata kita adalah unggahan-unggahan yang membahagiakan, ya, tak apa. Namun, yang harus diingat adalah, apa-apa yang tampak di media sosial tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai keseluruhan hidup orang lain. Sepuluh hingga lima belas detik momen yang dibagikan di media sosial, tidak bisa begitu saja menganulir puluhan ribu detik momen lainnya yang sama sekali tak kita ketahui.

Kisah-kisah membahagiakan dari gus dan ning yang tampak di media sosial itu, tak lantas bisa dijadikan dalil sahih untuk mengambil kesimpulan sepihak. Di balik potret jalan-jalan, makan-makan, dan bertemu lingkar pertemanan yang baik, ada hal-hal yang sekuat hati untuk tidak mereka bagikan ke publik. Yang barangkali terhalang oleh penglihatan kita adalah: bagaimana gus dan ning menjalani laku tirakat, seberapa sering mereka lelah atas tuntutan ini-itu dari masyarakat, memanggul nama baik pesantren dan orangtua di bahu mereka, merelakan beberapa impian dan kisah cinta, atau bahkan tidak punya kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri.

Terlahir dari keluarga yang memiliki nasab baik memang sebuah privilese. Menjadi menantu dari keluarga besar dengan trah yang baik juga sebuah privilese. Tapi, yang penting kita tanamkan adalah, nasab baik tidak hanya milik keluarga dalem pesantren. Maka, memandang privilese hanya dari kacamata nasab, dan melakukan penyempitan cakupan atas lema “nasab baik” adalah sesuatu yang sangat disayangkan.

Tak apa jika suratan kita menjadi santri biasa. Toh, bagi banyak orang di luar sana, ditakdirkan menjadi santri adalah sesuatu yang tak kalah istimewa. Menjadi menantu dari mertua yang “biasa-biasa saja” juga tak ada masalah. Siapa pun mertua kita dan entah bagaimana silsilah keluarganya, kita tetap bisa nyantri pada beliau berdua. Meniru amal-amal baiknya, berbakti sekuat yang kita bisa, dan mengamini doa-doa beliau berdua.

Urip iku sawang sinawang, begitu kata orang Jawa. Hidup yang kita jalani, bisa jadi adalah hidup yang sangat diinginkan oleh orang lain. Begitu pula dengan hidup yang kita idam-idamkan, bisa saja tak seindah kelihatannya. Tidak semua harus jadi gus dan ning. Menjadi diri kita seperti hari ini adalah ketetapan Tuhan yang harus kita terima.

Tanggung jawab kita sebagai manusia—selain menjadi manfaat—adalah belajar menerima dan merasa cukup atas diri sendiri. Mati-matian mengejar status sosial hanya akan membuat kita terlewat dari berbagai hal penting lainnya. Bukannya tidak punya, kita, hanya perlu mencari privilese-privilese kecil yang kita miliki, untuk kemudian mensyukurinya.


Baca juga opini lainnya atau artikel menarik dari Hikmah Imroatul Afifah

Related Articles

Bahkan Pemimpin Pun Mematuhi Putusan Hakim
· 3 menit untuk membaca
Sekotak Susu “Punya Mama”
· 3 menit untuk membaca
Menolak Taklid Buta kepada Influencer
· 3 menit untuk membaca
Tahun Baru (2023): Harapan VS. Dosa-Dosa Masa Lalu
· 2 menit untuk membaca