Zawaya.id–Siapakah sekarang ini yang bisa kita anggap sebagai ahli? Di era digitalisasi yang masif ini, kepakaran seolah telah hilang dari bumi. Tentu kita masih sangat ingat dengan awal mula cerita masuknya wabah korona ke Indonesia. Banyak kita jumpai di sosmed, komentar penuh dengan penghakiman dan kepercayaaan diri. Mulai dari yang berkomentar mengenai wabah ini dari sudut pandang seolah dirinya ahli kesehatan, ahli agama, ahli ekonomi, bahkan sampai ahli sosiologi. Bukankah ini fenomena yang sangat sering kita jumpai.
Sangat disayangkan, banyak sekali saudara kita yang kecepatannya dalam mengomentari sebuah permasalahan atau sebuah fenomena yang tengah hangat terjadi dan viral diberitakan di media massa lebih cepat dari kecepatannya berpikir. Ya, berpikir, minimal berpikir apakah komentar yang akan diutarakannya akan menimbulkan dampak serius-negatif meski kita tahu jangkauannya tidak akan terlalu luas karena kita bukanlah seorang yang memiliki pengaruh besar di negeri ini. Namun, coba dipikirkan ulang jika yang melakukannya adalah manusia se-Indonesia Raya? Bukankah sedikit demi sedikit akan menjadi luas.
Banyak sekali di antara kita atau bahkan penulis sendiri yang enggan bermuhasabah diri, meraba ke dalam diri sendiri, dan berangan-angan apa sebenarnya kapasitas kita sehingga dengan ringan sekali kita melontarkan komentar yang tak jarang sangat melukai hati dan tidak mencerminkan kebudayaan dan kedudukan kita sebagai manusia. Utamanya dalam dunia sosmed. Rasanya ringan sekali jempol kita ketika menekan-nekan layar gawai dan tanpa pikir panjang melayangkan sebuah komentar yang disertai dengan sedikit bumbu-bumbu yang ofensif.
Kondisi Indonesia hari ini, sangatlah patut untuk disayangkan. di tengah keberagaman dan kemajemukan rakyat Indonesia yang harusnya memberi andil besar dalam memperkaya khazanah keilmuan ini, malah fakta-lapangannya menunjukkan tidak sedikit masyarakat yang memberi andil besar terhadap fenomena hilangnya kepakaran. Saya kira kita tahu bahwa babar blas kita tidak memiliki kepakaran, keahlian, dan ke-expert-an dalam suatu kajian bidang fenomena yang terjadi. Yang terbaru “korona” misalnya, atawa topik yang sangat sensitif tapi sangat digemari untuk “dijajakan” dan dijadikan “tameng” agenda kepentingan di Indoneisa ini, “agama”.
Namun, dalam pengaplikasiannya kita tetap santuy mengomentarinya dan beropini mengenai hal tersebut. Seolah kekaprahan ini lazim dan tidak salah sehingga layaknya alamiah semata. Sungguh sama sekali hal ini tidak dapat dibenarkan dan dapat menjadi pengobar keributan dan perselisihan akibat keawaman yang dirayakan.
Teladan Berkomentar atau Menjawab Pertanyaan dari Imam Malik bin Anas
Mari kita melirik dan mempelajari kembali ke masa sugengnya (red: hidup) para pemimpin mazhab, terdapat kisah sejarah hebat yang barang tentu banyak di antara kita yang sudah mengetahuinya, sebuah kisah ihwal ketawadukan serta kehati-hatian Imam Malik r.a. Seorang yang datang dari jauh bertanya tentang suatu hukum kepada Imam Malik. Lantas beliau menjawab, “la uhsinuha, aku tidak tahu dengan baik hal tersebut.”
Orang itu kembali mengajukan pertanyaannya sampai tiga kali, namun Imam Malik tetap tenang dengan jawabannya. Pertanyaan mendasar mengenai kisah tersebut adalah, “Benarkah Imam Malik r.a. tidak memahami apa yang ditanyakan oleh orang tersebut?” Bagaimana mungkin Imam Malik yang masyhur, murid utama Muhammad al-Hasan yang berguru langsung kepada Abu Hanifah, guru banyak tokoh dan ulama di masanya termasuk Imam Syafi’I r.a, memilih sikap demikian dibanding memberi sebuah jawaban saja.
Bukankah mungkin semata bahkan mudah saja bagi Imam Malik untuk menjawab dengan lebih umum atau diluaskan, lalu pada intinya tersampaikan sebuah jawaban pada sang penanya. Bukankah menjawab “la uhsinuha” sebagaimana yang dijawabkan oleh Imam Malik riskan sekali mencederai dan melukai reputasinya sebagai sang ‘Alim allamah wa al-faqih fi al-din?
Sungguh luar biasa akhlak dan kehati-hatian Imam Malik dalam menyikapi sebuah kondisi tanpa memedulikan kebutuhan eksistensi-duniawi yang sering kali sebagai awam kita memaksakan pengakuan eksistensi tersebut, meski dengan catatan adanya kecacatan jawaban dan/atau komentar yang kita layangkan sebegitu mudahnya. Saya kira di titik ini, sepatutnya kita semua mengambil banyak hikmah dan belajar banyak hikmah kepada kisah beliau. Ya, semua dari kita tanpa terkecuali.
Era Marah-Marah
Kini, kita berada pada benar-benar babak baru dalam khazanah keilmuan, The age of rage, sebuah era marah-marah, era yang dengan begitu gampangnya kemarahan yang, berjalin manis-serasi dengan kebencian dan kekerasan, dijumpai dan ditampilkan di medsos. Zaman yang sama sekali berbeda, di mana kita memiliki kecenderungan untuk mengomentari apa pun, bahkan hal yang secara kompetensi kita sadari kita tidak memiliki keahlian dan otoritas di dalamnya, zaman di mana manusia terlampau mendambakan eksistensi yang acap kali membawa kita dalam kesesatan amibisi ketimbang bertulus hati sendiri bahwa kita tidak ahli dalam hal tersebut.
Misalnya, jika kita ditanya ihwal sebuah patokan/pendapat mengenai suatu hal, mungkin mayoritas kita akan siap menjawab secara yakin dan optimis hanya dengan berbekal sinyal kuat dan paket data yang mumpuni. Hari ini, menjawab sebuah persoalan yang sensitif, misal agama, tidak akan terlalu susah, dengan segala problematikanya; mekanismenya menjadi sederhana, kebutuhan akan jawaban mengenai hukum merokok, misal, Anda tinggal membuka website dari link-link yang ada di mesin pencarian secara daring. Anda temui berjejer urutan blog, Anda baca satu atau dua link lalu mengangkat diri telah ahli mengenai permasalahan yang Anda cari.
Bukankah sudah bisa dibaca kelanjutannya, Anda akan menjadi orang yang gemar berkomentar perihal persoalan itu lantaran Anda sudah menjadi ”ahli” dalam hemat Anda sendiri. Lalu, pertanyaannya adalah adakah website tersebut dikelola oleh ahlinya sehingga dasar hukum yang Anda gunakan untuk berkomentar terhadap orang lain menjadi sebuah komentar yang bermutu kebenaran dengan landasan dasar hukum yang valid. Ataukah, website yang sedang Anda baca hanyalah website yang ‘kebetulan’ bertengger di halaman atas mesin pencarian, entah karena memang sedang viral atau membayar sponsor ke mesin pencarian tersebut.
Kini, Google menjadi penyederhana disiplin ilmu yang mestinya harus kita pelajari dengan kurun waktu yang tidak sebentar dan pasti membutuhkan adanya dialog antara pendidik dan peserta didik, muthola’ah, dan bimbingan serta koreksi dari pendidik.
Lalu, tentu saja kita juga ingat agenda itu, sebuah agenda tahunan yang sangat menyeramkan, hari yang selalu dikabuti dengan perdebatan yang tidak sehat, debat kusir yang dilakukan dengan mengesampingkan etika-moral, hari-hari yang pelik dan selalu tampak jelas ungkapan-ungkapan sarkas demi memojokkan lawan bicara yang bersebrangan pilihan.
Agenda 5 (lima) tahunan, agenda pilpres yang selalu memunculkan perdebatan yang harusnya lazim saja terjadi, tetapi yang tidak menjadikannya lazim adalah ekor dari perdebatan itu sendiri karena banyak pendebat dan/atau komentator yang benar-benar sama sekali tidak memiliki keahlian di bidang yang sedang diperdebatkan.
Ekornya? Bukan memperluas khazanah keilmuan melalui tukar-tambah ilmu melalui diskusi/debat sehat, yang terjadi malah output-nya perpecahan. Bagaimana tidak, anomali keilmuan terjadi di mana-mana, dengan sangat mudahnya kita jumpai orang yang tidak jelas latar belakang keilmuannya lantang dan seolah memiliki otoritas berpendapat, tanpa berbekal ilmu yang matang, misal saja ada kiai yang berpendapat mengenai quick count atau ada penjual obat-obatan yang berani berfatwa perihal keagamaan.
Loh, dari mana korelasi keilmuannya, sejauh pemahaman saya, sedikitnya begini, quick count membutuhkan pemahaman mendalam mengenai bidang ilmu statistika, sedangkan berfatwa juga memerlukan kedalaman fan-ilmu keagamaan, bidang kebahasaan (Nahwu, Shorof, Balaghoh, Bahasa Arab, dll.), Ushul Fiqh, Tafsir al-Qur’an, dll., misalnya.
Walhasil, kombinasi keawaman dengan bantuan satu dua link (website) serta kondisi psikologis-fanatisme-buta yang bersarang di pikiran dan hati menjadi sebuah perpaduan sempurna yang menciptakan manusia yang merasa benar sendiri, terhidayahi sendiri dan adanya keleluasaan aktivitas untuk berkoar di panggung publik yang bernama media sosial memberikannya peluang untuk sangat lantang dan berani dalam melontarkan pendapat-pendapat yang terkesan dipaksakan dan ngawur. Bahkan, bila ada orang yang memiliki keahlian dalam khazanah keilmuan sehingga menjadikannya otoritatif dalam berpendapat, apabila bersebrangan dengannya pasti akan menjadi sasaran untuk dilibasnya.
Tutupan
Tentu masih banyak sekali praktik anomali yang terjadi di Indonesia hari ini. Dewasa ini, sebagai insan manusia–yang tentu bukan insane manusia–seyogianya kita lebih berhati-hati dan berpikir mendalam sebelum berkomentar, raba-diri-sendiri apa kapasitas kita dalam hal yang sedang diperbincangkan, seumpama memiliki keahlian di dalamnya sepantasnya juga tidak langsung bereaksi, bukankah alangkah lebih baik berhati-hati sebelum melontarkan komentar sehingga memunculkan problematika bagi masyarakat luas, apabila memang sangat dibutuhkan maka sampaikan komentar Anda, tetapi tetap dengan diiringi kelugasan, kesantunan, dan dibarengi etika yang baik.
Dan sedikit saran saya, ini sedikit melebar dari pembahasan tapi masih berhubungan, bila tidak memiliki keahlian dalam suatu hal, maka untuk mengetahui kejelasannya carilah seorang guru yang memiliki latar belakang pendidikan yang jelas dan linier dengan permasalahan yang sedang Anda hadapi, sehingga Anda tidak akan terjebak dalam kedangkalan dan kesesatan berpikir kemudian menjadikannya sebagai sebab fanatisme-buta, belajarlah pada ahlinya, pada mereka yang secara jelas memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.
Wallahu a’alam bish shawab.
Baca esai lainnya atau tulisan menarik lainnya dari Fahmi Syahab