Kartini (Harusnya) Tidak Sebatas Simbol

Bangkitlah, para Perempuan! Kartini bukan sebatas simbol. Dia adalah nyala yang enggan padam.

· 4 menit untuk membaca
Kartini (Harusnya) Tidak Sebatas Simbol

Zawaya.id–Tanggal 21 April setiap tahunnya lazim kita peringati sebagai hari kelahiran R.A. Kartini. Lalu, apa yang paling sering kita ingat dari perayaan hari Kartini sejak kecil hingga hari ini? Refleksi soal kesetaraan gender, diskusi pemberdayaan perempuan, ataukah lebih banyak ingatan soal kebaya, konde, dan beberapa kali lomba memasak?

Saya ingat betul bagaimana (dulu) gadis-gadis cilik pergi ke sekolah dengan memakai kebaya dan berdandan menyerupai tampilan fisik Kartini pada zamannya. Bahkan sampai tahun-tahun ini, perayaan Kartini dengan konsep seperti itu--persis perayaan hari Kartini semasa saya kecil—masih bisa ditemui di beberapa instansi pemerintahan atau lembaga pendidikan. Tentu saja tak ada dosa dalam berkebaya. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Kartini hanya akan diperingati dengan “begitu-begitu” saja?

Kartini, dengan segala perjuangannya, tentu terlampau hebat untuk sebatas diperingati melalui hal-hal yang berfokus pada tampilan fisik semata. Semangat pembebasan yang diteladankan oleh Kartini, rasa-rasanya justru dikaburkan oleh aturan berpakaian—yang sayangnya, persis dilakukan pada tanggal di mana ia lahir dan kemudian dikenang. Kita, seharusnya punya banyak alternatif lain dalam mengenang Kartini.

Persis di April pertama di masa wabah, gabungan beberapa tingkatan dari suatu organisasi perempuan, mengajak para kadernya untuk turut bersama-sama belajar mengenai topik kesehatan mental perempuan. Kegiatan tersebut diselenggarakan dalam rangka perayaan hari Kartini, dengan harapan, semangat pemberdayaan yang dimiliki oleh Kartini bisa diadopsi oleh para perempuan lain. Menggembirakan sekali, bukan? Gaung pemberdayaan perempuan yang selama ini diperdengarkan dibenahi mulai hal yang paling mendasar: kesehatan mental.

Contoh perayaan di atas bukanlah satu-satunya hal yang bisa dilakukan. Tak ada aturan khusus yang mengatur bagaimana seharusnya kita memperingati hari Kartini, sebenarnya. Tapi, seyogianya, kita mengenang perempuan revolusioner tersebut dengan hal-hal yang substantif. Apapun wujud perayaannya, tentulah tak boleh melenceng jauh dari perlawanan bias gender dan pemberdayaan perempuan. Lalu, apa yang bisa kita lakukan agar Kartini tak berhenti dan mati dalam perayaan simbolis saja?

Beberapa hal yang akan saya sebutkan hanyalah sebagian kecil dari upaya “menghidupkan Kartini”. Sisanya, mari berefleksi bersama. Hal pertama yang patut diingat kembali adalah tentang pemberian akses kepada para perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan yang layak. Terdengar klise memang. Tapi, itulah hal mendasar yang harus senantiasa disuarakan.

Pemberdayaan mustahil dicapai tanpa pengetahuan dan pendidikan yang memadai. Kesempatan belajar untuk perempuan harus dibuka selebar-lebarnya. Pun soal distribusi kesempatan ini, setiap perempuan harusnya mendapatkan kesempatan tersebut secara merata. Sebelum diprotes macam-macam dengan nada sumbang, “hari gini masih ada, ya, perempuan yang tidak terpelajar?” saya ingin mengingatkan untuk tak sering melakukan generalisasi. Kondisi baik-baik saja di sekitar kita, tentu tak bisa dijadikan alasan kuat untuk menafikan terbatasnya akses pendidikan bagi perempuan di belahan Indonesia yang lain.

Jika modal pengetahuan dan pendidikan sudah didapatkan, jangan lupa untuk menyediakan ruang aktualisasi diri bagi perempuan; entah itu di ranah privat atau publik. Tanyakan pada mereka, dengan cara apa, mereka ingin meneguhkan jati diri. Teruntuk kawan-kawan laki-laki: saya berharap bahwa, relasi apapun yang kalian jalin dengan seorang perempuan nantinya, tak akan menjadikan kalian sebagai orang yang tega merenggut kebahagian perempuan, dengan memaksa mereka (para perempuan) untuk menjadi pribadi yang lain. Kemudian, soal aktualisasi perempuan di ranah publik, yang juga penting untuk diperhatikan—tapi, sayangnya memang sering dilupakan—yakni, kehadiran perempuan di ranah publik masih sering menempati klan paling bawah.

Kita pakai saja contoh seputar ruang diskusi dan otoritas akademik. Kalau kita mau jujur, sebenarnya ruang diskusi kita belum benar-benar inklusif. Begitu pula dengan hal-hal yang berkaitan dengan otoritas akademik. Hampir semuanya masih didominasi oleh laki-laki. Ini bukan soal kebencian atau rasa tidak suka melihat laki-laki tampil di depan publik. Tapi, ini soal inklusivitas dan kesempatan bagi perempuan yang sering kali diabaikan. Betapa kita acapkali melihat poster kegiatan diskusi yang mayoritas panelisnya adalah laki-laki. Bahkan pada beberapa kesempatan, terutama diskusi soal keagamaan, semua panelisnya adalah laki-laki. Kondisi yang bisa kita sebut sebagai all male panel tersebut harus segera dibenahi.

Kemudian yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah kesehatan mental perempuan. Mau tak mau, kita harus mengakui bahwa, standar “ideal” yang ditetapkan masyarakat bagi perempuan sungguh di luar nalar—untuk tidak secara kasar mengatakannya edan. Betapa berat menjadi seorang perempuan yang harus menampung stereotip sebegitu banyaknya. Masih ditambah beban ganda pula. Wajar saja jika kemudian jurnal-jurnal psikologi menunjukkan fakta jika, perempuan cenderung mengalami masalah kesehatan mental. Menurut Clara Thompson, masalah kesehatan mental yang sering diidap oleh perempuan, bukan disebabkan oleh “kodrat” perempuan yang gemar mendekati kesedihan—sebagaimana diungkapkan oleh Helene Deutsch. Namun, stereotyping yang dilakukan oleh masyarakat patriarkislah yang menjadi penyebabnya.

Salah satu upaya preventif dalam hal kesehatan mental perempuan yakni berhenti memaksa perempuan untuk menjadi sosok yang multi-tasking (menjalankan banyak hal dalam satu waktu). Perempuan, sebagaimana juga laki-laki, memiliki opsi untuk menerapkan task-alternating (menentukan skala prioritas). Selain itu, kesadaran untuk mau “memberikan telinga” kepada para perempuan, juga merupakan hal yang patut ditumbuhkan. Kehidupan kita memang tak selalu baik-baik saja. Tapi, dengan membiarkan perempuan—dengan begitu banyak beban (dari masyarakat) di pundaknya—menjadi manusia yang menemui kesedihannya secara utuh, secara tidak langsung kita telah mendukung perempuan untuk mencapai kesejahteraan psikologisnya.

Besar sekali harapan jika suatu saat nanti, lebih banyak lagi perempuan yang mencapai kondisi psikologis yang sejahtera. Dan untuk mencapai kesejahteraan tersebut, butuh kerja sama dari berbagai pihak, termasuk kaum perempuan sendiri. Kartini sudah meneladankan sejak jauh-jauh hari. Telinga dan bahu orang lain yang ditawarkan sesungguhnya hanyalah salah satu faktor pendukung. Sepasang telinga yang dimiliki perempuan adalah kunci utamanya. Maka, untuk kawan-kawan perempuan: mari berlatih mendengarkan diri sendiri. Menjumpai kesedihan secara utuh adalah langkah awal agar kita bisa pelan-pelan melakukan interpretasi ulang atas segala kerumitan yang menimpa.

Jasad Kartini memang telah tiada. Tapi, semangat dan gagasan-gagasannya harus tetap kita jaga. Terlebih kepada kawan-kawan perempuan, semoga perayaan hari Kartini tidak berhenti sebatas membagikan konten emansipasi perempuan di setiap akun media sosial yang dimiliki. Yang jauh lebih penting daripada itu adalah kesadaran kita sebagai perempuan untuk senantiasa bertumbuh dan saling dukung antarperempuan. Niatan-niatan untuk mengalahkan perempuan lain—dalam hal rivalitas apa pun—sebaiknya diurungkan saja. Tidak ada perempuan lain yang harus kita kalahkan mati-matian. Sebab, yang harusnya sungguh-sungguh kita lawan adalah ketidakadilan pada perempuan dan keinginan untuk merasa paling terpelajar.


Baca juga opini yang lain dan artikel menarik lainnya dari Hikmah Imroatul Afifah

Related Articles

Media dan Rivalitas Antarperempuan
· 2 menit untuk membaca
Sekotak Susu “Punya Mama”
· 3 menit untuk membaca
Menolak Taklid Buta kepada Influencer
· 3 menit untuk membaca
Tahun Baru (2023): Harapan VS. Dosa-Dosa Masa Lalu
· 2 menit untuk membaca