Media dan Rivalitas Antarperempuan

Media membuat perempuan tidak pernah merasa puas.

· 2 menit untuk membaca
sumber: vanderbilthustler.com
sumber: vanderbilthustler.com

Sudahkah anda menamatkan drama Korea yang sempat begitu populer pada Ramadan dua tahun yang lalu--"The World of The Married"? Apakah anda ikut hanyut dalam konfliknya dan lalu mencari-cari siapa saja Da-kyung lain di sekitar anda? Jika jawabannya adalah "ya", anda tidak sendiri. Kita semua, menikmati sajian "dosa" yang dilakukan oleh media.

Media, selain gemar menyajikan tontonan atau bacaan yang mengobjektifikasi perempuan, juga kerap kali mempertontonkan rivalitas antarperempuan. Mikaela Kiner dalam suatu tulisannya, menyebutkan bahwa persaingan antarperempuan bisa terjadi ketika seorang perempuan mengerahkan segala upaya untuk menjatuhkan perempuan lain. Bentuk saling sikut antarperempuan pun beragam macamnya. Mulai dari bergosip, merundung, memfitnah, melakukan kekerasan berbasis online, sampai dengan bentuk persaingan paling klasik: adu fisik. Soal adu fisik ini, jangan dibayangkan sesepele adegan saling jambak rambut di sinetron-sinetron itu. Justru adu fisik inilah bukti bahwa perempuan merupakan korban sekaligus pelaku dalam ideologi maskulin.

Sejauh ini, akar dari rivalitas antarperempuan tidaklah tunggal. Menurut kacamata psikologi evolusi, mekanisme seleksi alam membuat perempuan merasa perlu melindungi fisiknya dari bahaya, dan--ini yang akan kita sorot, mempertahankan kemampuan melahirkan anak untuk menarik lawan jenis. Fenomena purba tersebut, sayangnya justru melahirkan permasalahan yang lebih pelik lagi.

Psikologi feminisme melihat rivalitas antarperempuan sebagai buah dari ideologi kejantanan yang memaksakan nilai-nilai kepatuhan kepada para perempuan. Jika Freud menganggap bahwa patuh adalah karakter alami perempuan, Beauvoir justru tidak sependapat dengan itu. Di mata Beauvoir, kepatuhan yang ada dalam diri perempuan disebabkan oleh pengorganisasian secara struktural oleh sistem patriarki.

Jika hendak protes sebab bosan melihat patriarkisme yang diseret terus-menerus, silakan. Namun, fakta berbicara demikian. Watak patriarki yang mendominasi, membuat perempuan kehilangan hak untuk mendefinisikan dirinya sendiri. Sejak kecil anak perempuan dididik untuk menjadi "yang terpilih" di mata masyarakat--terutama laki-laki. Standar pertumbuhan dan perkembangan yang dipakai pun ditentukan oleh masyarakat dengan internalisasi ideologi kejantanan yang mendarah-daging.

Laki-laki seolah terlahir untuk memilih para perempuan dan menjadikannya sebagai objek gairah. Satu perempuan akan dibandingkan dengan perempuan lain. Ironi lain yang harus kita terima adalah bukan hanya laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai objek, tetapi diri perempuan pun begitu. Para perempuan sibuk membandingkan dirinya dengan perempuan lain, untuk mengafirmasi siapa yang lebih cantik, lebih pintar, lebih menarik, dan layak untuk dipilih.

Keinginan untuk dipilih dan dihargai laki-laki--sesuai dengan konstruksi patriarki--membuat para perempuan sering terjebak dalam scarcity mindset. Keyakinan tersebut membuat perempuan senantiasa merasa kurang dengan dirinya sendiri. Mereka mencari-cari cara agar dirinya tampak sempurna. Lingkaran setan scarcity mindset membawa perempuan pada dua hal: inferioritas berlebihan dan menganggap perempuan lain sebagai saingan. Dan sayangnya, media semakin memperburuk keadaan.

Upaya untuk membentuk solidaritas antarperempuan menjadi jalan yang terjal untuk dilalui. Bagaimana tidak, jika media dan dunia hiburan kita hingga hari ini, terus saja mempertontonkan para perempuan yang saling sikut demi mendapatkan cinta laki-laki atau predikat sebagai "yang terpilih". Tampaknya betul yang dikatakan oleh Judy Schell: media membuat perempuan tidak pernah merasa puas.

Stimulus yang ditangkap oleh panca indera perempuan dari tayangan yang disiarkan oleh media, membuat para perempuan membentuk persepsinya sendiri. Apabila stimulus berupa tayangan-tayangan yang menunjukkan konflik persaingan di antara para perempuan terus diulang-ulang, maka glorifikasi atas rivalitas hanya soal menunggu waktu.

Permasalahan yang berakar dari ideologi kejantanan tidak bisa diselesaikan dengan solusi tunggal dan simsalabim. Momen perayaan hari Kartini merupakan saat yang tepat bagi para perempuan untuk berefleksi. Meski persoalan rivalitas antarperempuan demikian rumit, tetapi kita tidak boleh terjebak dalam sikap skeptis. Semangat Kartini untuk membuka akses pengetahuan bagi perempuan lain patut dijadikan teladan untuk menumbuhkan solidaritas di kalangan perempuan. Berhentilah menjadikan perempuan lain sebagai musuh. Kita butuh bersama-sama mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk melawan hegemoni media dan patriarki.


Baca tulisan menarik lainnya dari Hikmah Imroatul Afifah

Related Articles

Sekotak Susu “Punya Mama”
· 3 menit untuk membaca
#Womansupportwoman yang Disalahpahami
· 4 menit untuk membaca
Kartini (Harusnya) Tidak Sebatas Simbol
· 4 menit untuk membaca