Sekotak Susu “Punya Mama”

Seorang perempuan, setelah menjadi ibu, akan disodori sederet kriteria ibu ideal yang harus dipenuhi. Padahal, menjadi ideal itu luka.

· 3 menit untuk membaca
Sumber: freepik.com

Twitter merupakan salah satu media sosial yang paling sering menyajikan keributan. Satu keributan belum usai, muncul lagi keributan lain. Meski begitu, saya justru sering mendapatkan ide untuk menulis dari Twitter. Seperti tulisan ini, inspirasi saya datang dari keramaian salah satu "lapak" base di Twitter.

Seorang anak mengirim foto susu UHT di lemari pendingin dengan ditempeli kertas bertuliskan “punya mamah” pada bagian depan. Dia merasa sikap ibunya adalah sesuatu yang aneh dan suasananya jadi mirip seperti anak-anak indekos yang menamai apa pun benda yang mereka miliki. Sekejap saja unggahan di base tersebut dikomentari oleh banyak orang yang, sayangnya, mayoritas menganggap ibu tersebut sebagai ibu yang pelit dan egois. Namun, yang muncul di benak saya justru sebaliknya.

Memangnya seorang ibu tidak boleh pelit? Berdosakah jika seorang ibu enggan berbagi dengan anggota keluarganya yang lain?

Selama ini kita hampir selalu disuguhi bacaan, tontonan, dan doktrin yang menegaskan bahwa, perempuan yang berstatus sebagai istri dan ibu harus melakukan banyak pengorbanan. Mereka, para istri cum ibu itu, harus mengalah pada banyak sekali hal. Seolah tak ada yang lebih berharga dari suami dan anak-anaknya. Selain terus diajarkan dan akhirnya terinternalisasi dalam diri perempuan, pengorbanan—yang sering dipaksakan—itu mengalami romantisasi habis-habisan. Kita semua sering menggadaikan identitas dan keutuhan diri seorang perempuan, hanya demi predikat “keluarga ideal” di mata masyarakat.

Para suami akan bercerita dengan dada membusung; betapa baik istrinya di rumah, betapa cekatan dan rajin istrinya dalam menangani pekerjaan-pekerjaan domestik, seberapa sering istrinya mengalah dalam hal makanan dan merawat diri, serta banyak lainnya. Anak-anak pun akan dengan bangga bercerita kepada teman-temannya tentang ibu mereka yang bangun sebelum subuh untuk membereskan semua “kewajiban” rumah, dan seolah tak ada istirahatnya itu. Mereka berbuih-buih mengatakan betapa beruntungnya menjadi suami dan anak dari para perempuan itu, tanpa sekalipun bertanya bagian manakah dari tangan dan kakinya yang butuh dipijit.

Saya tiba-tiba teringat dengan sebuah drama korea berjudul "Birthcare Center" dan novel “Kim Ji-young, Born 1982”. Serial drama dan novel tersebut sama-sama bercerita tentang kehidupan seorang perempuan setelah menjadi ibu. Hyun-jin (dalam Birthcare Center) dan Ji-young menjalani hari-hari mereka dengan perasaan hampa dan tidak berguna. Hyun-jin sedikit lebih beruntung, sebab untuk sementara waktu, ia tinggal di pusat perawatan pascapersalinan. Kim Ji-young lebih menyedihkan dari itu. Dia menghabiskan hidup di rumah keluarga suaminya yang, seolah mengawasi Ji-young 24 jam. Baik Hyun-jin maupun Ji-young, masing-masing “wajib” mengorbankan dirinya untuk anak mereka. Sedikit saja mereka berpikir tentang kenyamanan diri sendiri, habis sudah mereka. Stigma akan membuat mereka babak-belur.

Lebih dekat dengan kita; di Indonesia, atau bahkan di rumah kita sendiri, para perempuan yang berstatus sebagai istri dan ibu juga dituntut untuk menyiapkan seluruh kebutuhan keluarga. Tak boleh ada yang terlewat, dan jika ada sesuatu yang kurang pas, ibulah yang harus berkorban.

Ibu-ibu yang enggan berkorban atau sesekali menjadikan dirinya sebagai prioritas—seperti seorang mama pemilik susu UHT itu—akan mendapatkan stigma sebagai ibu yang jahat. Wajib mengalah yang dialamatkan kepada para ibu dianggap sebagai suatu kodrat, yakni bagian dari naluri keibuan. Ah, bagi saya itu adalah omong kosong! Naluri keibuan bukan merupakan kodrat, melainkan konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat yang, nahasnya, berabad-abad lamanya diasuh dengan opresi patriarki.

Tidak mudah bagi kita untuk menyuarakan himpitan para istri dan ibu di tengah masyarakat yang hidup “mapan” dengan insensitivitas terhadap perempuan. Bukan hanya dari kaum laki-laki saja yang akan menentang. Sesama perempuan pun, tak jarang yang justru menertawakan upaya mengembalikan keutuhan diri perempuan. Beberapa lainnya malah menuduh para perempuan yang bersuara sebagai sumber kebisingan dan tak bisa menjaga marwah perempuan. Berat, kan?!

Ketika melihat unggahan tersebut, hati kecil saya mengapresiasi tindakan ibu pemilik susu UHT itu. Bagi saya, ia boleh jadi mewakili suara hati ibu-ibu lain yang tak punya keberanian untuk bertindak “nekat”. Saya menyebutnya nekat, sebab di mata tatanan sosial, ibu itu mengotori citra seorang ibu yang harusnya begini-begitu. Bahkan, andai ada dewan pengawas ibu-ibu, pastilah ia tak masuk dalam kategori ibu yang ideal.

Seorang perempuan, setelah menjadi ibu, akan disodori sederet kriteria ibu ideal yang harus dipenuhi. Padahal, menjadi ideal itu luka. Ada banyak kesedihan yang tak boleh diceritakan. Kelelahan sebab mengurus keluarga sendirian juga harus dikubur rapat-rapat. Impian dan keutuhan identitasnya? Jangan ditanya. Keduanya sudah lama mati dibunuh beban ganda dan subordinasi. Meski tidak semua perempuan mengalami hal-hal mengenaskan itu, tetapi, perempuan yang kehilangan dirinya, jauh lebih banyak dibanding para perempuan yang beruntung.

Alih-alih menyuruh para ibu untuk pelit dan egois—yang pasti berujung cemoohan dari lingkungan sekitar, saya justru ingin mengajak kita semua untuk berempati kepada para ibu. Jika ingin mendobrak “kemapanan” dengan gerakan-gerakan besar, silakan. Kalau pun tak memiliki akses untuk bergerak secara leluasa, mari bergerak secara halus dan konsisten.

Beri waktu bagi para ibu untuk lebih dulu menikmati makanan yang mereka masak, tanpa rasa bersalah terhadap suami dan anaknya. Biarkan mereka mendefinisikan diri mereka sendiri, tanpa takut dicemooh sebagai ibu tak tahu diri. Sesekali, tanyakanlah perasaan dan impian-impian mereka.

Para ibu itu, berhak melabeli tubuhnya, makanannya, semua yang mereka miliki; tanpa harus repot-repot menulisnya di kertas. Para perempuan itu juga berhak mempertahankan martabat kemanusiaannya, tanpa perlu mengkhawatirkan tatapan sinis dan omongan pedas yang akan dialamatkan kepada dirinya.


Baca juga tulisan yang lain dari Hikmah Imroatul Afifah.

Related Articles

Media dan Rivalitas Antarperempuan
· 2 menit untuk membaca
Menolak Taklid Buta kepada Influencer
· 3 menit untuk membaca
Tahun Baru (2023): Harapan VS. Dosa-Dosa Masa Lalu
· 2 menit untuk membaca