Zawaya.id–Senior saya dulu pernah menceritakan bahwa dulu, di desa terpencil Mesir, ada agenda maulid besar yang mengundang para alim, ulama, dan umara. Seorang ulama memberikan pertanyaan mengenai hadis; tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan tersebut, kecuali seorang anak kecil. Ketika anak kecil itu diberi hadiah uang atas jawabannya, ia menolak karena ini terkait hadis. “Saya malu kepada baginda Rasulullah Saw,” katanya.
Kisah di atas mirip kisah Abu Ghanaim Muhammad bin Ali Addajaji dalam kitab shafaat min shabri ulama ala syada’idi ilmi wa tahsil (‘Lembaran-Lembaran Kesabaran Ulama dalam Berjuang Menuntut Ilmu ) yang ditulis oleh Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah. Abu Ghanaim Muhammad bin Ali Addajaji adalah ulama ahli hadis berasal dari Baghdad. Beliau wafat tahun 463 H; sangat berilmu, berakhlak, masyhur, ternama, berpengalaman, dan segala pahit-manis kehidupan telah dirasakannya.
Suatu ketika, murid beliau sengaja berkumpul untuk mendengarkan hadis, tetapi beliau sedang sakit. Dikarenakan hal tersebut, murid-murid mengunjungi beliau. Saat itu, beliau berada di atas tikar serta pakaiannya terdapat bekas terbakar. Kondisi beliau sedang tidak memiliki uang yang cukup. Meskipun begitu, beliau akhirnya tetap mengajarkan hadis dan memuliakan murid-muridnya sebagai tamu meskipun keadaannya sulit.
Murid beliau berinisiatif untuk mengumpulkan uang untuk diberikan kepada anaknya. Ketika murid beliau memberikan uang itu, beliau menampar wajahnya sendiri. Beliau berkata, “Memalukan sekali ini! Aku mengambil imbalan dari hadis Rasulullah Saw?! Tidak akan.” Beliau bangkit berdiri mendekati muridnya yang hendak keluar. Air mata beliau bercucuran dan beliau mengatakan, “Apakah kalian ingin mempermalukanku di hadapan para ahli hadis? Sungguh kematian lebih mudah bagiku (daripada menerima uang tersebut).” Uang pun dikembalikan lagi.
Harta tertinggi ialah sesuatu yang berharga yang tidak bisa ditentukan harganya. Memang, sekilas beliau terlihat sedang susah, tetapi yang tak terlihat, beliau sangat bahagia karena bisa mewariskan ilmu yang sangat berharga. Ilmu yang tidak bisa ditukar dengan emas. Ilmu yang tidak bisa diperjualbelikan. Ilmu warisan para nabi yang telah menerangi bumi dan seisinya.
Menyampaikan ajaran agama merupakan sesuatu kewajiban. Wajib bagi siapa saja belajar agama dan mengajarkannya. Apa pun profesi sesorang, wajib baginya belajar agama serta mengamalkannya. Kalau kata orang Jawa ”agama ageming aji”, artinya ‘agama busana berharga’. Ibarat ini lahir dari rasa kepercayaan ketuhanan orang Jawa yang mengutamakan nilai-nilai agama dalam keseharian, sebagaimana seseorang setiap hari menggunakan pakaian.
Pentingnya Ilmu Melebihi Harta
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata ilmu akan menjaga kita, sedangkan harta, kita yang menjaganya, ilmu bertambah jika diajarkan dan harta berkurang jika dibelanjakan. Kita akan memahami kekayaan sejati yaitu banyaknya ilmu bukan banyaknya harta. Memuliakan seseorang, seharusnya, karena ilmunya, bukan hartanya.
Kesadaran terhadap ilmu harus lebih besar dari harta sehingga membuat pola pikir berubah. Pada awalnya, sekolah yang untuk kerja berubah menjadi sekolah untuk berguna. Kerja berniat mendapat duit menjadi kerja berniat menjadi memberikan manfaat. Apabila di ujungnya cuma duit, orang akan akan sakit. Namun, kalau tujuan akhirnya memberikan manfaat, akan nikmat. Semua pekerjaan tergantung pada niatnya.
Ilmu dan harta sama-sama bisa dicari, tetapi harta tidak bisa dibawa mati. Harta bisa diatur dengan ilmu, tetapi ilmu tidak bisa diatur dengan harta. Kemajuan suatu bangsa terwujud karena memerhatikan ilmu pengetahuan; kehancuran suatu bangsa karena mementingkan kekayaan. Ilmu memberikan maslahat lebih besar ketimbang harta. Penemuan lampu memudahkan manusia untuk melakukan berbagai macam kegiatan; penemuan harta karun menimbulkan pertikaian.
Penyair Arab pernah berkata:
Suatu kaum akan mati
Maka ingatkanlah mereka: ilmu menghidupkan kembali.
Kebodohan mempertemukan kematian dengan kematian.
Baca juga artikel seputar kisah atau tulisan Rayhan Ibnu Mubarok yang lain.