Firkah Non-Aswaja: Wahhabiyyah

Sebagian ulama menyimpulkan pokok-pokok ajaran Wahhabiyyah dalam “Tiga T”: Tasybih, Takfir, dan Tabdi’ (menuduh kaum muslimin sebagai ahli bidah).

· 6 menit untuk membaca
Firkah Non-Aswaja: Wahhabiyyah
Sampul kitab al-Luma', salah satu karangan penting Imam Abu Hasan al-Asy'ari.

Zawaya.id–Panutan utama aliran Wahhabiyyah adalah Muhammad ibn Abdul Wahhab. Permulaan munculnya Muhammad ibn Abdul Wahhab ini ialah di wilayah Timur sekitar tahun 1143 H. Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahhabiyyah mulai tersebar di wilayah Nejd dan daerah-daerah sekitarnya. Muhammad ibn Abdul Wahhab meninggal pada tahun 1206 H. Ia banyak menyerukan berbagai ajaran yang ia anggap berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah.

Ajarannya tersebut banyak ia ambil dari paham-paham Ibnu Taimiyah yang ia hidupkan kembali.  Muhammad ibn Abdul Wahhab adalah seorang yang tidak diakui keilmuannya oleh para ulama. Bahkan saudaranya sendiri, Sulaiman ibn Abdul Wahab, menulis dua buah kitab sebagai bantahan terhadapnya karena Muhammad ibn Abdul Wahhab dinilainya telah menyalahi apa yang telah disepakati oleh kaum muslimin, baik di daerahnya atau di daerah lain. Bantahan pertama bernama Al-Sawaiq al-Ilahiyah dan yang kedua bernama Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad ibn Abdal Wahhab.

Ulama mazhab Hanbali ternama, seorang mufti Mekkah di masanya, Syekh Muhammad ibn Humaid, tidak mencantumkan nama Muhammad ibn Abdul Wahab dalam jajaran ulama mazhab Hanbali, padahal dalam kitabnya yang bernama Al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ia menyebutkan sekitar 800 ulama, baik laki-laki maupun perempuan dari kalangan mazhab Hanbali.

Di antara ulama yang justru disebutkan dalam kitab Syekh Muhammad ibn Humaid tersebut adalah ayahnya Muhammad bin Abdul Wahab, yakni Syekh Abdul Wahhab. Syekh Muhammad ibn Humaid memuji keilmuan ayah Muhammad bin Abdul Wahhab dan menyebutkan bahwa beliau semasa hidupnya sangat marah kepada Muhammad (anaknya) tersebut dan mengingatkan orang-orang agar menjauh darinya.  “Kalian akan melihat kejahatan yang akan dilakukan oleh Muhammad,” kata ayahnya.

Syekh Muhammad ibn Humaid wafat sekitar 80 tahun setelah Muhammad ibn Abdul Wahhab. Muhammad Ibn Abdul Wahhab telah membuat agama baru yang diajarkan kepada pengikutnya.  Pokok ajarannya ini adalah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas ‘Arsy. Keyakinan ini adalah tasybih atau menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya karena duduk adalah salah satu sifat manusia.

Sebagian ulama merumuskan kesimpulan ajaran wahhabiyyah dalam empat pokok ajaran: menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (tasybih dan tajsim); pembagian tauhid menjadi tauhid al-Uluhiyyah, al-Rububiyyah dan al-Asma` wa ash-Shifat; tidak mengagungkan Nabi; dan mengafirkan kaum muslimin (takfir al-muslimin).

Sebagian ulama lain menyimpulkan pokok-pokok ajaran Wahhabiyyah dalam “Tiga T”: Tasybih, Takfir, dan Tabdi’ (menuduh kaum muslimin sebagai ahli bidah).

Pokok-Pokok Akidah Aswaja: Allah Maha Pencipta Segala Sesuatu
Segala sesuatu, selain Allah, adalah makhluk, yang berarti: ciptaan Allah swt.

Tasybih

Wahhabiyyah menisbatkan sifat duduk kepada Allah. Abdurrahman ibn al-Hasan Alu as Syaikh dalam Fath al-Majid Sharah Kitab al-Tauhid, hal. 356, menyebutkan sebuah hadis palsu yang menyatakan: “…Jika Tuhan Azza wa jalla duduk di atas kursi…”

1) Wahhabiyah tidak menyucikan Allah dari jisim dan anggota-anggota badan. Abdul Aziz ibn Baz dalam kitab Tanbihat hammah ‘ala maa katabaha Syaikh Muhammad ibn Ali al-Shabuni fi shifati Allah Azza wa Jalla, hal. 19, mengatakan,

“Al-Shabuni menuturkan penyucian Allah dari jisim, bola mata, daun telinga, lisan dan tenggorokan. Ini bukanlah mazhab Ahlussunnah tetapi ini adalah perkataan ahli kalam yang tercela.”

2) Wahhabi menetapkan bentuk bagi Allah. Hammud ibn Abdillah at-Tuwayjiri dalam kitab Aqidah Ahla al-Iman fi Khalqi Adam ‘ala Shurah al-Rahman menyatakan,

“Setiap sesuatu yang ada, yang tidak butuh pada selainnya, haruslah berupa gambar/bentuk. Tidak mungkin, apabila ada sesuatu yang wujud, dan tidak butuh pada selainnya, yang tidak memiliki bentuk.”

Serial Aswaja (1): Kesahihan Akidah Asyariyah dan Maturidiyah
Sejarah telah membuktikan bahwa mayoritas umat Muhammad pada setiap generasi, dari dahulu hingga sekarang, adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah

Takfir

1) Wahhabiyah menganggap tawasul sebagai perbuatan syirik yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam dan menyebabkan orang yang bertawasul kekal di neraka jahanam. Abu Bakr Jabir al Jazairi dalam kitab Aqidah al-Mu’min, hal. 144, mengatakan,

“Sesungguhnya menyeru orang-orang saleh dan beristigasah dengan mereka, serta bertawasul dengan keagungan mereka, selamanya tidak ada dalam agama Allah; bukan pula qurbah (pendekatan diri kepada Allah); dan bukan amal saleh sehingga bisa dijadikan sarana bertawasul. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan tersebut adalah kesyirikan dalam ibadah kepada Allah yang diharamkan. Pelakunya melenceng dari agama dan mengharuskan dia abadi di neraka Jahannam.”

2) Wahhabi mengafirkan penduduk Mesir, Irak, Oman, Syam, Nejed, Hijaz, dan Yaman karena berziarah dan bertawasul dengan orang-orang saleh di permakaman. Dalam kitab  Fath al-Majid Syarah Kitab al-Tauhid, hal. 191 dinyatakan:

“Sebagaimana telah berlaku pada penduduk Mesir dan lainnya, Tuhan mereka yang paling agung adalah Ahmad al Badawi. Penduduk Irak dan sekitarnya seperti penduduk Oman meyakini ketuhanan Abdul Qadir al-Jilani sebagaimana penduduk Mesir meyakini ketuhanan al-Badawi. Yang lebih dahsyat dari ini: ibadahnya penduduk Syam terhadap Ibnu Arabi. Ibnu Arabi adalah imamnya kelompok yang meyakini aqidah wahdah al-wujud. Hal-hal di atas juga berlaku di Nejed sebelum adanya dakwah ini (wahhhabiyah).”

3) Wahhabiyah mengikuti jejak Muhammad bin Abdul Wahhab yang menilai taklid kepada suatu mazhab sebagai perbuatan syirik dan menilainya sebagai alat pemecah belah persatuan umat yang digunakan oleh musuh-musuh Islam. Shiddiq Hasan Khan dalam kitab al-Din al Khalish, hal.196, mengatakan, "Bertaklid terhadap mazhab adalah termasuk kesyirikan.”

4) Wahhabiyah menganggap orang yang berzikir dengan bilangan-bilangan yang tidak ditentukan oleh syariat sebagai pelaku kesyirikan. Husam al-Aqqad dalam kitab Halaqat Mamnu’ah, hal. 25, menyatakan,

“Di antara bidah juga dalam halakah ini, apabila seorang Syekh menentukan bilangan tertentu terhadap orang yang berzikir, dia mengatakan kalimat tauhid seribu kali, misalnya, atau shallallahu ‘alayhi wasallam sepuluh ribu kali atau lebih. Hal-hal ini tidak ada dalam syariat kita. Ini termasuk bidah yang dibuat oleh orang-orang bodoh; mereka telah keluar dari zikir yang dibenarkan oleh syariat pada zikir yang menyekutukan Allah ta’ala”.

Pokok-Pokok Akidah Aswaja (1): At-Tanzih
Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu.′

Tabdi’

1) Wahhabiyah menilai sekian banyak amalan kaum muslimin di seluruh dunia Islam sebagai bidah yang sesat dan menegaskan bahwa bidah akan mengantarkan kepada kekufuran. Shalih al-Fauzan dalam kitab al-Tauhid, mengatakan,

“…Yang keempat, tentang penjelasan contoh-contoh bidah kontemporer, adalah perayaan peringatan maulid Nabi. Perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal itu menyerupai amal kaum Nasrani dalam kegiatan yang disebut perayaan lahirnya al-Masih (Natal). Termasuk bidah juga dalam ibadah dan takarub, adalah membaca niat salat dengan suara keras, berzikir secara berjamaah setelah salat, meminta untuk membaca al-Fatihah dalam beberapa kesempatan setelah berdoa dan untuk orang mati. Termasuk bidah lagi adalah perayaan peringatan-peringatan keagamaan seperti Isra’ Mi’raj,  dan Hijrah Nabawiyah. Di antara bidah juga adalah zikir-zikir sufi, mengkhususkan malam nishfu Syakban dengan salat dan pada siang hari nishfu Syakban dengan puasa. Terakhir, kami bependapat sesungguhnya bidah adalah pos yang bisa menghantarkan pada kekufuran.”

2) Wahhabiyahmenilai perkataan “Shodaqa Allah al-Azhim”, setiap selesai membaca Al-Qur’an, sebagai bidah yang sesat. Komisi fatwa Saudi Arabia dalam Majallah al-Buhuth al-Islamiyah, edisi 45, hal. 94-96 menegaskan, “Perkataan “Shodaqa Allah al-Azhim” setelah selesai membaca Al-Qur’an adalah bidah.”

3) Wahhabiyahmembidahkan tasbih(alat zikir). Sulaiman ibn Sahman al-Najdi, dalam beberapa risalah yang ia himpun yang berjudul al-Hidayah al-Sunniyyah,menyebutkan di antara bidah yang tercela, “…dan di antaranya adalah menggunakan tasbih. Maka, kami melarang untuk, secara terang-terangan, menggunakannya.”

4) Ali Hasan Ali Abdul Hamid dalam kitab al-Mawt: ‘Izzatuhu wa Ahkamuhu, hal. 42-45, membuat daftar panjang tentang sekian banyak amalan kaum muslimin yang dinilainya sebagai bidah sesat yang berkaitan dengan kematian.

“Di antara bidah adalah membaca [surat] Yasin untuk orang yang akan mati dan perkataan mereka ketika menginformasikan salah seorang mereka yang meninggal dunia, “al-Fatihah untuk ruh fulan”, dan talkin dengan perkataan mereka, “Yaa, Fulan, jika datang kepadamu dua malaikat…”, dan mengkhususkan ziarah kubur pada dua hari raya dan membaca al-Fatihah atau Yasin di atas perkuburan”.


Baca tulisan lainnya terkait Aswaja atau artikel menarik lain dari Zaada

Related Articles

Habib Luthfi dan Lebah-lebah Thudong
· 2 menit untuk membaca
Firkah Non-Aswaja: Hizb al-Tahrir
· 3 menit untuk membaca
Firkah Non-Aswaja: Hizb al-Ikhwan
· 5 menit untuk membaca
Pokok-Pokok Akidah Aswaja (1): At-Tanzih
· 5 menit untuk membaca
Serial Aswaja (2): Mazhab-Mazhab Ahusunnah Waljamaah
· 6 menit untuk membaca