Pokok-Pokok Akidah Aswaja (1): At-Tanzih

Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu.'

· 5 menit untuk membaca
Kitab al-Aqiidah al-Thohaawiyah, salah satu kitab penting yang memuat pokok-pokok akidah ahlusunah waljmaah.
Kitab al-Aqiidah al-Thohaawiyah, salah satu kitab penting yang memuat pokok-pokok akidah ahlusunah waljmaah.

1) At-Tanzih

Tanzihullah artinya memercayai dengan sepenuhnya bahwa Allah ta'ala ada (maujud) dan tidak ada sekutu bagi-Nya, baik bagi zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Prinsip ini berdasarkan, salah satunya, dari firman Allah ta’ala,

ليس كمثله شيئ

'Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi)'.

Para ulama ahlusunah mengatakan bahwa ayat di atas adalah ayat yang paling jelas dalam Al-Qur'an yang menjelaskan tentang konsep tanzihullah bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Berdasarkan ayat di atas, ahlusunah berkesimpulan bahwa:

1. Allah bukan benda dan tidak disifati dengan sifat benda

Sebelum menjelaskan tentang konsep tanzih, biasanya para ulama ahlusunah menguraikan terlebih dahulu bahwa alam (ciptaan Allah) terbagi menjadi dua bagian, yaitu benda (jirm) dan sifat benda (‘aradh). Benda (jirm) terbagi menjadi dua, yaitu, pertama, benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard); dan kedua, benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian yang disebut: jisim.

Selain pembagian di atas, benda juga terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu,
1) benda lathif,  benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya;
2) benda katsif, sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda padat dan lain sebagainya.

Sedangkan sifat-sifat benda (al-a’radh) adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Dengan demikian, Allah bukan merupakan al-jawhar al-fard, juga bukan benda lathif atau benda katsif. Allah juga tidak boleh (dan tidak patut) disifati dengan sifat-sifat benda (‘aradh).

2. Allah ada tanpa tempat dan arah

Telah dijelaskan di muka, bahwa Allah tidak boleh disifati dengan salah satu sifat benda. Di antara sifat benda adalah bertempat (berada pada tempat tertentu). Oleh karena demikian, ahlusunah menegaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah.

Secara akal, seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan ada banyak yang serupa dengan-Nya. Karena, dengan demikian, berarti Allah memiliki dimensi (panjang, lebar, dan kedalaman). Padahal yang demikian itu adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut. Selain ayat di atas, dalil yang membuktikan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

كان الله ولم يكن شيء غيره

“'Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatu pun selain-Nya.'”

Makna hadis ini adalah bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan). Tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal, belum ada angin, cahaya, kegelapan, 'arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat, dan arah. Dengan demikian, berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah. Allah tidak membutuhkan kepada keduanya dan Allah tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah. Sebab perubahan adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).

Maka, sebagaimana dapat diterima oleh akal, wujud Allah ada tanpa tempat dan arah, sebelum terciptanya tempat dan arah. Begitu pula, akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaimana ditegaskan juga oleh Ali bin Abi Thalib–radhiyallahu ‘anhu,

كان الله ولا مكان وهو الان على ما عليه كان

"'Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula: ada tanpa tempat.'"

Al-Imam As-Sajjad Zain Al-Abidin Ali ibn Al Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata, "Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat".

Ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit sewaktu berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Namun, karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Demikian juga apabila seseorang ketika melakukan salat, ia menghadap Ka'bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena Ka'bah adalah kiblat salat.

Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama ahlusunah waljamaah, seperti al-Imam al-Mutawalli (w. 478 H) dalam kitabnya al-Ghunyah, al-Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam kitabnya Ihya 'Ulum ad-Din, al-Imam an-Nawawi  (w. 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al-Imam Taqiyy ad-Din as-Subki (w. 756 H) dalam kitab As-Sayf ash-Shaqil, dan masih banyak lagi.

Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi –radhiyallahu ‘anhu-  (227-321 H) berkata,

تعالى يعنى الله – عن الحدود والغايات والاركان والاعضاء والادوات لا تحويه الجهات الست كسائر المبتدعات

"'Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu, maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut".

Perkataan al-Imam Abu Ja'far al-Thahawi di atas merupakan Ijmak (konsensus) para sahabat dan salaf (orang orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Faedah perkataan tersebut menjelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad bermikraj, bukan berarti bahwa Allah berada di arah atas, sehingga Nabi Muhammad naik ke atas untuk bertemu dengan Allah. Namun, maksud mikraj adalah memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-Isra ayat 1.  

Jadi, tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat atau di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w. 324 H) berkata, "Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat."

Perkataan al-Imam al-Thahawi di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham wahdah al-wujud yang, berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya atau pengikut paham hulul yang, berkeyakinan bahwa Allah menepati sebagian makhluk-Nya.

Berkeyakinan seperti dua golongan di atas termasuk kekufuran berdasarkan ijmak kaum muslimin, sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Suyuthi (w. 911 H) dalam karyanya al-Hawi li al-Fatawa dan lainnya. Para panutan kita, ahli tasawwuf sejati, seperti al-Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H), al-Imam Ahmad ar-Rifa'i (w. 578 H), Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H), dan semua Imam tasawuf sejati, mereka selalu memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang berdusta sebagai pengikut tarekat tasawuf dan meyakini akidah Wahdah al-Wujud dan Hulul. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dan al-Imam Dzu an-Nun al Mishri (w. 245 H), salah seorang murid terkemuka al-Imam Malik, menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu tauhid,

مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك

"'Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu.'"

Sebagaimana kita yang, tidak bisa membayangkan suatu masa (sedangkan masa adalah makhluk) yang di dalamnya tidak ada cahaya dan kegelapan. Namun, kita bisa beriman dan membenarkan bahwa cahaya dan kegelapan keduanya memiliki permulaan. Keduanya berawal dari ketiadaan kemudian menjadi ada. Allah jualah yang menciptakan keduanya. Allah berfirman dalam al-Qur'an :

وجعل الظلمات والنور

"Dan (Allah) yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya"

Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih utama jika kita beriman dan percaya bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah–serta tidak bisa kita bayangkan.

Jadi, keyakinan umat Islam dari kalangan salaf dan khalaf bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah dan tidak dapat dibayangkan Dzat-Nya, bukan seperti keyakinan sebagian orang yang meyakini bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy. Orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah entitas yang duduk di atas Arsy berarti menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya karena duduk adalah salah satu sifat manusia.

Para ulama salaf bersepakat bahwa barang siapa yang menyifati Allah dengan salah satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir. Sebagaimana hal ini ditulis oleh Imam ath-Thahawi (227 - 321 H) dalam kitab akidahnya yang terkenal dengan nama al-Akidah at-Thahawiyah:

ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر

"'Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat sifat manusia, maka ia telah kafir.'”


Baca tulisan lainnya terkait Aswaja atau artikel menarik lain dari Zaada

Related Articles

Habib Luthfi dan Lebah-lebah Thudong
· 2 menit untuk membaca
Firkah Non-Aswaja: Hizb al-Tahrir
· 3 menit untuk membaca
Firkah Non-Aswaja: Hizb al-Ikhwan
· 5 menit untuk membaca
Firkah Non-Aswaja: Wahhabiyyah
· 6 menit untuk membaca
Serial Aswaja (2): Mazhab-Mazhab Ahusunnah Waljamaah
· 6 menit untuk membaca