Keniscayaan Bermazhab
Tidak mungkin seseorang yang tidak memenuhi kriteria sebagai seorang mujtahid dapat memahami al-Qur’an dan hadis secara langsung. Dia harus bertaklid kepada salah satu dari mazhab yang eksis dalam memahami al-Qur’an dan hadis. Kenyataan bahwa umat Islam terbagi menjadi dua kelompok; mujtahid dan mukalid telah dijelaskan oleh Rasulullah saw.
نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها فأداها كما سمعها, فرب مبلغ لا فقه عنده ( رواه الترمذى وابن حبان)
“Allah menganugerahkan keselamatan dan wajah yang berseri-seri di hari kiamat kepada seseorang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memeliharanya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang menyampaikan, tapi tidak memiliki pemahaman (terhadapnya).” (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Bukti terdapat pada lafal:
فرب مبلغ لافقه عنده
'Betapa banyak orang yang menyampaikan (hadis), tapi tidak memiliki pemahaman terhadapnya.'
Dalam riwayat lain:
ورب مبلغ اوعى من سامع
'Betapa banyak orang yang mendengar (disampaikan kepadanya hadis) lebih mengerti dari yang menyampaikan.'
Bagian dari lafal hadis tersebut memberikan pemahaman bahwa di antara sebagian orang yang mendengar hadis dari Rasulullah saw, ada yang hanya meriwayatkan lafalnya saja. Sedangkan pemahamannya terhadap kandungan hadis tersebut kurang dari pemahaman orang yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini, dengan kekuatan nalar dan pemahamannya, memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah yang terkandung di dalam hadis tersebut.
Dari sini, dapat diketahui bahwa sebagian sahabat Nabi ada yang pemahamannya kurang sempurnya jika dibandingkan dengan para murid dan orang yang mendengar hadis darinya.
Para ulama hadis yang menulis karya-karya dalam ilmu Mushthalah al-Hadits menyebutkan bahwa para ahli fatwa dari kalangan sahabat jumlahnya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut suatu pendapat. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapai tingkatan mujtahid–dan ini pendapat yang lebih sahih.
Jika keadaan para sahabat saja demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca al-Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata, “Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita bertaklid kepada mereka.” Padahal, telah terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan mujtahid, mereka ikut (bertaklid) kepada ahli ijtihad yang ada di kalangan mereka.
Dalam shahih al-Bukhari diriwayatkan bahwa seorang buruh (pekerja sewaan) telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu, ayah pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya. Ada yang mengatakan, “Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan memerdekakan seorang budak perempuan.” Tak puas, sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun.”
Karena masih kurang puas, akhirnya ia datang kepada Rasulullah saw. bersama suami perempuan tadi dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan memerdekakan seorang budak perempuan. Kemudian aku bertanya lagi kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun?” Rasulullah berkata: “Aku pasti akan memberi keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan Kitabullah. Al-walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar 78 Km) setahun.”
Laki-laki tersebut sekalipun seorang sahabat, tapi ia bertanya kepada para sahabat lainnya. Namun, ternyata putusan mereka terhadap masalah tersebut ternyata tidak tepat. Kemudian, ia bertanya kepada sahabat lain yang alim hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh alim tersebut.
Berdasarkan kejadian di atas, Rasulullah memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat, sekalipun mereka mendengar langsung hadis dari Nabi, tidak semuanya memahami maksud hadis Rasulullah. Artinya, tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadis Nabi. Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadis kepada sesamanya–sekalipun mereka memahami betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian, sangatlah aneh jika ada orang-orang bodoh yang berani mengatakan, “Mereka adalah manusia dan kita juga manusia...” Mereka yang dimaksud adalah para ulama mujtahid seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal).
Semakna dengan hadis di atas, ada hadis yang diriwayatkan Abu Dawud tentang seorang laki-laki yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin, ia berhadas besar (junub), setelah ia bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya, mereka menjawab: “Mandilah!” Kemudian ia mandi dan meninggal (karena kedinginan).
Ketika Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka. Tidakkah mereka harusnya bertanya, kalau memang tidak tahu. Sebab, obat ketidaktahuan adalah bertanya!” Jadi obat kebodohan adalah bertanya; bertanya kepada ahli ilmu.
Lalu Rasulullah berkata: “Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayamum, dan membalut lukanya dengan kain, lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa badannya.” (H.R. Abu Dawud dan lainnya).
Dari kasus ini, diketahui bahwa seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya, tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang junub tersebut. Jadi, ijtihad hanya diperbolehkan bagi para ahli yang telah memenuhi syarat-syaratnya dan bukan bagi setiap individu umat Islam.
Jika ijtihad dibolehkan bagi setiap muslim, meski belum memenuhi syarat maka hal itu akan mengantarkan pada kekacauan dalam agama dan hukum. Ijtihad, dengan menghalalkan sesuatu dan mengharamkannya, adalah tugas seorang mujtahid seperti Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad –semoga Allah meridai mereka. Tidak setiap orang yang telah menulis sebuah buku, kecil maupun besar, dapat mengambil tugas para Imam mujtahid sehingga dapat berfatwa dan menghalalkan ini dan mengharamkan itu tanpa merujuk kepada perkataan para Imam mujtahid dari kalangan salaf dan khalaf yang telah dipercaya oleh umat karena jasa-jasa baik mereka.
Demikianlah kenyataannya. Allah telah membangkitkan para ulama’ yang amanah, bertakwa, dan warak untuk berkhidmat kepada agamanya. Allah juga memerintahkan umat untuk merujuk kepada mereka dalam urusan agama mereka. Allah ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"'Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.'” (Q.S. an-Nahl: 43)
Yang termasuk Ahl adz-Dzikr tersebut adalah para pendiri mazhab empat: Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad. Kemudian, para ulama mujtahid tersebut dan lainnya tidak pernah mensyaratkan, kepada orang yang hendak mengikuti mazhab mereka, bahwa ia harus mengetahui dalil dan metode istinbatnya, sebagaimana para sahabat juga tidak selalu menjelaskan dalil ketika menyampaikan fatwa kepada ummat.
Madzhab-Madzhab Ahlussunnah Waljamaah Menurut NU
Dalam bidang Akidah
NU, dalam bidang akidah, mengikuti akidah Nabi dan para sahabatnya berdasarkan rumusan Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Dalam naskah khithah NU, pasal 3, point (b), disebutkan bahwa dalam bidang akidah, NU mengikuti faham Ahlussunnah Waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Pemikiran kedua tokoh ini dipilih karena,
a. Rumusan akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah didukung dengan dalil naqli (al-Qur’an dan hadis) yang cukup dan dibuktikan kebenarannya oleh dalil akli yang tidak dapat terbantahkan. Sehingga tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dan akal;
b. Akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah dianut oleh para pembesar ulama dalam semua disiplin ilmu; ahli kalam, ahli usul fikih, ahli fikih, ahli hadis, para sufi dan lainnya. Mereka seperti al-Khatib al-Baghdadi, al-Hafidz ad-Daruquthni, Abdul Basith al-Fakhuri, Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Imam ar-Rifa’I, al-Hafidz al-Iraqi, Abu Bakar Ibn Furak, Abul Hasan al-Bahili, al-Qadhi Abdul Wahhab al-Maliki, Abul Qasim al-Qusyairi, Zakariya al-Anshari, al-Ghazali, al-Qadhi Iyad, Ibnu Aqil al-Hanbali, al-Hafidz al-Alai, Abu Bakar al-Bakilani, al-Imam al-Juwaini, Taqiyuddin as-Subki, Fakhruddin Ibn Asakir, al Hafidz az-Zabidi, dan lainnya yang tidak terhitung banyaknya.
c. Akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah dianut oleh para sultan yang saleh, seperti Shalahuddin al-Ayyubi, Mudzafaruddin al-Kaukabri, dan bahkan oleh sultan Muhammad al-Fatih yang telah dikabarkan oleh Nabi sebagai pemimpin yang paling baik. Rasulullah saw. bersabda: “Konstantinopel benar-benar akan ditakhlukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya.
d. Akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah bersifat moderat (tidak berlebihan/melampau batas yang diperintahkan), juga tidak taqshir (cenderung mengabaikan ajaran agama), tidak ifrat (ekstrem) ke kanan dan ke kiri.
Bidang Syariah
Dalam bidang syariah atau fikih, NU mengikuti rumusan dari salah satu mazhab empat, yaitu:
- Mazhab Hanafiy yang rumuskan oleh imam Abu Hanifah an Nu’man bin Tsabit;
- Mazhab Maliky yang dirumuskan oleh Imam Malik bin Anas;
- Mazhab Syafi’iy yang dirumuskan oleh Imam Muhammad bin Idris as Syafii;
- Mazhab Hanbaliy yang dirumuskan oleh Imam Ahmad bin Hambal.
Alasan utama pemilihan empat mazhab di atas di antaranya adalah:
a. mazhab-mazhab tersebut adalah mazhab Ahlussunnah Waljamaah. Seluruh para ulamanya mengikuti akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang akidah;
b. empat imam madzhab tersebut dalam bidang akidah memiliki rumusan yang sama dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah;
c. empat madzhab tersebut adalah madzhab yang terbukti mampu bertahan sampai sekarang setelah melalui seleksi alam. Sedangkan mazhab Ahlussunnah lainnya seperti mazhab Sufyan At-Tsauri dan al-Auzaiy telah punah.
Bidang Akhlak/Tasawuf
Dalam bidang akhlak/tasawuf, NU mengikuti ajaran tasawuf yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Pemilihan dua rumusan Imam sufi ini didasarkan pada beberapa alasan, antara lain:
a. Rumusan tasawuf dua imam tersebut didasarkan pada akidah Ahlussunnah Waljamaah. Sehingga ajaran tasawuf mereka terbebas dari akidah yang menyimpang dari akidah Ahlussunnah Waljamaah seperti akidah hulul dan al wahdah al muthlaqah. Hulul adalah akidah menyimpang yang mengatakan bahwa Allah bertempat pada sebagian tubuh walinya, sedangkan al-wahdah al-muthlaqah adalah akidah menyimpang yang mengatakan bahwa Allah itu bersatu dengan alam; bahwa masing-masing dari alam semesta ini adalah bagian dari Allah;
b. Rumusan tasawuf dua imam tersebut didasarkan pada syariat yang benar. Tidak mempertentangkan antara hakikat, tarekat, dan syariat. Juga tidak mempertentangkan antara lahir dan batin. Tidak ada hakikat tanpa syariat. Imam Junaid al-Baghdadi pemimpin para sufi mengatakan:
طريقنا هذا مضبوط بالكتاب والسنة اذ الطريق الى الله مسدودة الا على المقتفين آثار رسول الله
“Jalan kita ini (tasawuf) diikat dengan al-Qur’an dan sunah Rasul. Sebab, sesungguhnya setiap jalan menuju Allah itu tertutup, kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan apa yang digariskan Rasulullah.”;
c. Hakikat tasawuf menurut mereka adalah ilmu dan amal. Sehingga, tasawuf mereka selalu menekankan kepada umat Islam untuk menuntut ilmu, bertasawuf dengan ilmu, dan tidak bertasawuf dengan kebodohan.
Baca tulisan terkait akidah atau artikel menarik lainnya dari Zaada