Zawaya.id–Dulu, masa sebelum datang risalah Islam, tradisi yang diwariskan oleh Yahudi adalah anggapan najisnya perempuan yang sedang haid. Alih-alih dilarang tidur atau makan bersama di rumah, perempuan haid dianggap sebagai pembawa sial, mereka dilarang berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari di keluarga, mereka juga tidak diperbolehkan untuk berinteraksi dengan masyarakat. Tatapan mata mereka disebut evil eyes yang berarti 'si mata iblis' dan dipercaya mendatangkan bencana.
Masyarakat, dengan tabu menstruasi kuat, menganggap jika perempuan haid menyentuh makanan, maka makanan tersebut akan cepat busuk atau basi. Apabila perempuan haid menyentuh pohon, maka pohon tidak akan berbuah. Bila mengonsumsi susu sapi, maka sapi tidak akan memproduksi susu lagi. Jika terjadi sentuhan fisik, maka orang yang disentuh akan terkena penyakit. Jika membaca buku, maka dewi pendidikan akan marah. Perempuan haid dianggap sebagai penyebar kutukan.
Tidak heran, perempuan haid pada masa tersebut diasingkan di suatu tempat yang disebut gubuk menstruasi (menstrual huts). Kondisi gubuk menstruasi sangat jauh dari ruang nyaman, bahkan sangat menistakan perempuan. Gubuk menstruasi biasanya dibangun di dekat rumah warga, akses masuk gubuk begitu sempit, bangunannya hanya terdiri dari tumpukan jerami di atas bambu-bambu yang memiliki celah menganga. Tak ayal, perempuan haid yang tinggal di gubuk menstruasi akan mengalami dehidrasi, paparan cuaca yang buruk, gigitan ular, bahkan kematian.
Tidak cukup hanya diasingkan, perempuan haid juga diberikan simbol-simbol tertentu yang menunjukkan bahwa dia sedang haid seperti gelang, kalung, giwang, cadar, dan riasan wajah seperti arang yang dioleskan di area mata (celak). Kiwari, simbol-simbol tersebut berkembang menjadi asesoris dan make up yang bisa dipakai siapa pun, tidak hanya bagi perempuan yang sedang haid.
Pengasingan semacam ini hanya karena budaya sebagian besar masyarakat yang begitu kuat terhadap tabu menstruasi. Hal yang sama dilakukan untuk perempuan yang sedang mengalami masa nifas, disebut kurungan pascapersalinan.
Tradisi pengasingan perempuan haid bertahan di beberapa belahan dunia, contohnya adalah gubuk menstruasi Chhaupadi di Nepal, Chhaupadi merupakan kandang hewan ternak yang sekaligus menjadi persinggahan sementara perempuan yang sedang "tidak suci".
Di Ethiopia, pada tahun 1976, perempuan Yahudi tinggal di gubuk niddah (diusir saat menstruasi) atau biasa disebut Mergem Gogo, mereka yang melanggengkan niddah hanya akan berhenti pergi ke gubuk menstruasi jika sudah menopause karena telah mengakhiri kenajisan dan dianggap hampir sama dengan laki-laki.
Perempuan suku Aborigin di Australia tak lepas dari tabu menstruasi yang menempatkan perempuannya tinggal di gubuk menstruasi ketika haid, gubuk tersebut dibangun oleh ibu mereka sendiri. Setelah menstruasinya berakhir, barulah mandi di sungai dan gubuknya dibakar. Bisa dibayangkan berapa kali gubuk dibangun dan dibakar hanya karena budaya yang menganggap bahwa perempuan haid adalah makhluk najis?
Sudah kesal belum membaca cerita-cerita tabu menstruasi yang meminjam istilah anak tiktok sangat membagongkan ini? Tenang, masih ada stok cerita bersejarah lagi.
Di negara Federasi Mikronesia, tepatnya di Yap, perempuan setelah melahirkan harus diasingkan di gubuk menstruasi bersama bayinya, sementara sang ayah berlibur. Jadi yang lahiran dengan taruhan nyawa siapa, yang healing siapa? Gelap, Bestie.
Perempuan Yurok dari California dan perempuan Paez di dataran tinggi barat daya Kolombia juga masih mempercayai tabu menstruasi, mereka tinggal di gubuk menstruasi yang dibangun di dekat rumah mereka dengan perlakuan yang sama sebagaimana adat pengasingan perempuan haid.
Bisa dibayangkan betapa berdebarnya jantung perempuan ketika mendapatkan siklus bulanan di negara-negara tersebut.
Budaya ini tentu saja tidak lepas dari langgengnya sistem patriarki dalam sejarah umat manusia, perempuan dinilai sebagai makhluk nomor dua setelah laki-laki. Perempuan pun dianggap sebagai makhluk yang tidak sempurna karena dia berdarah tiap bulannya. Darah diasumsikan sesuatu yang kotor, menjijikkan, hina, identik dengan peperangan, sedangkan lelaki adalah makhluk sempurna karena dia tidak mengeluarkan sesuatu yang menjijikkan dari kemaluannya.
Perempuan haid dalam lintasan sejarah dianggap sebagai suatu identitas yang sarat dengan berbagai mitos. Darah menstruasi dianggap tabu. Hampir setiap suku, bangsa, dan agama juga kepercayaan mempunyai konsep perlakuan khusus terhadap menstruasi. Dan uniknya, budaya-budaya terhadap tabu menstruasi masih langgeng hingga sekarang.
Di Indonesia pun—meskipun tidak ada gubuk menstruasi— masih terdapat tabu menstruasi, bahkan di masyarakat yang mengaku gaya hidup dan pemikirannya modern. Dalam film Punk in Love garapan Ody C. Harahap, terdapat cuplikan menarik tentang tabu menstruasi, diceritakan betapa susahnya Almira merangkai kata hanya untuk mengatakan kepada teman-teman lelakinya bahwa ia sedang menstruasi, karena kepalang malu dan menstruasi dianggap aib, meskipun pada akhirnya Almira berhasil mengatakan sejujurnya.
Adegan selanjutnya yang tak kalah menggelikan adalah Mojo, Arok, dan Yoji yang menjadi teman sesama punk-nya sepakat untuk membelikan Almira pembalut menstruasi, tetapi kendalanya tetap sama, susah ngomongnya! Karena, mengatakan “beli pembalut wanita” kepada penjual laki-laki di toko kelontong dianggap wagu. Ilustrasi dalam film tersebut cukup representatif menanggapi betapa menstruasi masih dianggap tabu. Bahkan kata menstruasi atau haid diucapkan secara konotatif menjadi “datang bulan”, “kedatangan tamu”, “sedang kotor”, “bendera berkibar”, “lampu merah”, dsb.
Di masyarakat kita, urusan membuat tempe saja, sekali lagi, membuat tempe konon tidak diperbolehkan bagi perempuan haid karena tidak akan berhasil menjadi tempe yang paripurna secara tekstur dan rasanya. Lalu, bagaimana jika karyawan pembuat tempe adalah perempuan? Apakah sebulan sekali selama beberapa hari harus mengambil cuti tidak membuat tempe karena sedang haid?
Dalam ranah fikih yang seharusnya mengikis diskriminasi terhadap perempuan justru punya andil dalam menghadirkan tabu-tabu menstruasi, seperti tidak boleh memasuki masjid ketika haid. Padahal dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi meminta tolong pada Sayyidah Aisyah untuk mengambilkan pakaiannya yang ada di dalam masjid, Sayyidah Aisyah berkata “aku sedang haid”, lalu Nabi menimpali “haidmu itu bukan di tanganmu”. Tentu saja hal ini membentuk sebuah produk hukum bahwa boleh-boleh saja perempuan haid memasuki masjid.
Dalam literatur fikih kitab Al-Fatawa al-Kubro Al-Fiqhiyyah menuliskan bahwa terdapat delapan binatang yang bisa menstruasi, urutan pertama dituliskan perempuan, lalu kelelawar, dlobuk, kelinci, unta, cicak, kuda, dan anjing. Juga sebagaimana dalam kitab al-Hayawan, al-Jahidz, dalam kitab tersebut menulis bahwa ada empat binatang yang mengalami haid dan lagi-lagi yang pertama ditulis adalah perempuan, lalu kelinci, kelelawar dan anjing hutan.
Ketika membaca kitab tersebut ingin sekali memerankan Cinta memaki Rangga “Yang kamu lakukan itu jahat!” tapi tidak jadi, diganti dengan berkirim al-fatihah. Sebab, pernyataan dalam kitab tersebut terasa kurang memanusiakan perempuan, sekalipun memang ada binatang yang mengalami menstruasi, memasukkan perempuan dalam kelompok mereka sama halnya menyamakan perempuan dengan binatang.
Lima pengalaman biologis perempuan yang berupa haid, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui memang rentan mendapatkan lima pengalaman sosial berupa stigmatisasi, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda bagi perempuan. Munculnya pengalaman-pengalaman negatif dalam sosial perempuan menjadi perhatian khusus dalam Islam.
Setelah Muhammad diutus menjadi nabi, kemanusiaan perempuan mulai dibahas secara serius. Ayat demi ayat turun mengkritisi tradisi jahiliyah yang tidak sesuai dengan spirit Islam yang berkeadilan bagi seluruh umat. Turunnya ayat pembatasan jumlah perempuan yang dipoligami dan perintah untuk monogami merupakan respon Tuhan terhadap tradisi jahiliyah menikahi puluhan hingga ratusan perempuan (4: 3). Turunnya ayat waris yang menyebutkan bahwa perempuan juga berhak mendapatkan waris merupakan respon terhadap tradisi yang awalnya justru perempuan diwariskan (4: 11). Ayat pemberian mahar bagi perempuan mendobrak tradisi yang awalnya perempuan diperjual belikan (4: 4).
Bayi perempuan juga disyariatkan untuk diakikahi dengan satu kambing, dulu boro-boro diakikahi, begitu lahir langsung dikubur hidup-hidup (16: 58). Pensyariatan akikah memiliki esensi wujud syukur yang tinggi, sebab setiap kelahiran, baik bayi laki-laki atau perempuan, apabila dirawat hingga menjadi keturunan yang baik, maka seolah-olah menghidupkan seluruh umat manusia (6: 32).
Termasuk yang menjadi fokus Al-Qur’an adalah pengalaman biologis perempuan yang berupa haid. Haid juga menjadi pembahasan khusus dalam ilmu fikih. Sebagaimana sejarah tabu menstruasi di beberapa penjuru dunia, ayat yang membahas tentang haid adalah surah Al-Baqarah ayat 222.
“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, 'Itu adalah sesuatu yang kotor.' Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”
Ayat tersebut hadir sebagai respon baik Tuhan terhadap sejarah tabu menstruasi di seluruh dunia, termasuk pada saat itu di negara Arab yang awalnya mereka mengasingkan perempuan yang sedang haid. Term “adza” diterjemahkan sebagai kotoran. Ini berarti yang kotor adalah darah haidnya, bukan tubuh perempuan yang sedang haid. Jadi, perempuan yang sedang haid tidak perlu dijauhi apa lagi diasingkan. Mereka hanya tidak boleh disetubuhi.
Jika melihat dari sisi tafsir, term “adza” bisa juga dimaknai sebagai 'sesuatu yang bisa menimbulkan rasa sakit', maka i’tazil bukan sekadar 'jauhilah perempuan' dalam konteks seks, melainkan 'berikanlah waktu istirahat bagi perempuan' untuk membahagiakan dirinya sendiri (me time) selama masa haid. Sebab, kita tahu sendiri bahwa sebelum haid sebagian perempuan ada yang merasakan premenstrual syndrome (sindrom prahaid), dismenore (nyeri haid), dan perasaan ketika haid, belum lagi ketika menggunakan alat kontrasepsi siklus haid menjadi berubah hingga pengaruhnya terhadap kondisi fisik.
Dari ayat di atas, maka para mujtahid beristinbat tentang hukum haid yang kemudian berkembang menjadi fikih darah perempuan yang tidak hanya mencakup haid, namun berkembang menjadi nifas dan istihadah. Mempelajari fikih darah perempuan tidak hanya bertujuan mengetahui status hukum cairan yang dikeluarkan dari vagina perempuan, melainkan untuk menggali kabar gembira dari Allah bahwa perempuan dianugerahi kasih sayang yang begitu luar biasa dari segi biologis.
Bayangkanlah, Al-Qur’an yang turun pada tahun 610 M. sudah mengabarkan bahwa haid itu sesuatu yang normal dikeluarkan, tentu saja zatnya adalah najis, sama halnya dengan sesuatu yang keluar dari lubang anatomi tubuh manusia. Jadi hanya zatnya yang najis, bukan manusianya yang najis. Tidak ada alasan untuk mengasingkan perempuan yang mengalami siklus menstruasi dari dalam tubuhnya.
Kembali pada kisah di Nepal tahun 70-an, tradisi mengasingkan perempuan haid di kandang binatang. Kita bisa mengambil kesimpulan, bukankah hal tersebut adalah kemunduran yang nyata? Betapa primitifnya negara atau masyarakat yang masih mempertahankan tabu menstruasi sedangkan Al-Qur’an ribuan tahun yang lalu telah memperhatikan dan memuliakan perempuan.
Maka, akankah nikmat menjadi perempuan kita dustakan? :)
*Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh penulis pada rubrik "Lentera Ramadan", Radar Mojokerto, Selasa 5 April 2022.
Baca juga artikel terkait Perempuan dan artikel menarik lainnya dari Uswah Syauqie