“Hasil tidak akan mengkhianati usaha, Adik-adik!”
Zawaya.id–Begitulah kalimat yang saya dengar—atau setidaknya, banyak orang lain yang juga kerap mendengarkan kalimat tersebut—dari so called motivator. Belasan tahun yang lalu, saya mengangguk setuju. Tapi beberapa tahun kemudian, saya merevisinya.
Kalimat motivasi tersebut sepintas tampak membakar semangat kita untuk berusaha dengan lebih giat. Berangkat dari kalimat itulah, mayoritas kita, menganggap bahwa kegigihan adalah cara terbaik untuk menghindari kegagalan. Tapi, persoalan selanjutnya adalah bagaimana jika kita sudah berusaha mati-matian, tetapi hasilnya jauh dari kalkulasi untung—jika melihat usaha di awal.
Pola sebab-akibat dari kalimat tersebut juga menggiring kita pada anggapan bahwa, kegagalan adalah sesuatu yang tidak wajar dan buruk; bahwa kegagalan adalah sebuah dosa yang harus dihindari. Lebih fatal lagi, kita akan terjebak dalam (meminjam istilah Carol S. Dweck) pola ketidakberdayaan. Sekali saja hasil yang didapatkan tak sebanding dengan usaha yang dilakukan, kita cenderung mengumpat diri sendiri habis-habisan.
Syekh Ahmad Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, seorang sufi dan pengarang kitab Al-Hikam, dalam hikmah yang ketiga, beliau menuliskan sebuah aforisme yang berbunyi:
سَـوَ ابِـقُ الْهِمَمِ لاَ تَخـْرِقُ أَسْوَارَ اْلأَقْدَارِ
'Kekerasan semangat jiwa itu tidak dapat menembus tirai takdir.'
Melalui hikmah tersebut, Ibnu ‘Athaillah ingin mengingatkan pada kita kalau, di dunia ini, seberapa pun kita punya himmah (keinginan) yang kuat, ketetapan Allah-lah yang pada akhirnya menentukan. Ada hal-hal yang memang berada di luar kendali kita. Mustahil setiap hal bisa kita kendalikan, sebab, selamanya kita tetaplah hamba.
Hasil yang mengkhianati usaha adalah sesuatu yang normal-normal saja. Bukankah hidup memang begini: kita yang merencanakan dan mengupayakan, Tuhan tetap yang menentukan, dan sesekali orang lain yang akan bertugas nyacatan. Jika di satu waktu hasil yang kita peroleh ternyata berbanding lurus dengan usaha yang kita lakukan, tentu kondisi tersebut tidak lepas dari ketentuan Allah. Begitu pula sebaliknya, jika kita menemui kegagalan setelah upaya sampai titik darah penghabisan, maka kegagalan tersebut juga merupakan ketentuan dari Allah Swt. Lagi pula, apa, sih, di dunia ini yang tidak terikat dengan takdir Allah?
Sepertinya, kita perlu lebih menormalisasi kegagalan dan meninggalkan glorifikasi atas kalimat-kalimat motivasi yang kadang-kadang disiki kersa. Gagal, ya, gagal saja. Dalam pengajian hikam–yang saya lupa edisi keberapa–Almaghfurlah K.H. Moch. Djamaluddin Ahmad pernah dawuh bahwa gagal adalah momen untuk menyadari penghambaan diri kita kepada Allah. Bahkan ketika kita mampu menggeser cara pandang, kegagalan justru bisa kita terima dengan legawa. Sedih secukupnya, dan percaya bahwa Allah akan mendatangkan kebahagiaan dalam bentuk lain.
Hidup kita yang tak tahu akan berakhir di usia berapa ini, akan terasa sangat melelahkan jika kita terus mengejar kesempurnaan—yang sebenarnya hanya milik Tuhan. Boleh punya himmah. Wajib berusaha. Tapi, jangan lupakan status kita sebagai seorang hamba, yang harusnya, gagal adalah sesuatu yang normal-normal saja.
Baca juga tulisan lainnya terkait opini dan artikel menarik lainnya dari Hikmah Imroatul Afifah