Zawaya.id–Setiap tahun, kita selalu dihadapkan pada satu hari di mana euforia tentang Kartini bisa dengan mudah ditemui. Pelajar usia kanak-kanak, sekolah dasar, bahkan beberapa pelajar usia sekolah menengah berbondong-bondong memakai kebaya dalam rangka memeriahkan hari Kartini. Tak jarang pula setiap kota menggelar karnaval demi memeriahkan hari tersebut.
Lalu, apakah makna hari Kartini yang sesungguhnya? Apakah tentang perempuan yang hanya merayakan hasil tanpa ada kerja keras di dalamnya? Tentu saja bukan. Mungkin cerita Mbah Nyai Zainab al-Jogjawi berikut ini dapat menyulutkan api semangat kita untuk terus belajar. Tidak peduli bagaimanapun hasilnya, tetapi semangat untuk terus belajar adalah prinsip yang harus tetap kita lestarikan hingga akhir hayat.
Kisah ini bermula dari Syekh Baqir al-Jogjawi. Beliau merupakan guru dari Kiai Zubair Dahlan. Pada saat itu, Kiai Maimun Zubair, yang kerap kita kenal dengan Mbah Mun, bercerita tentang ayahnya. Syekh Baqir al-Jogjawi merupakan guru dari Kiai Zubair Dahlan, di samping Syekh Hasan al-Yamani dan Kiai Faqih Maskumambang.
Pola pikir Kiai Zubair Dahlan banyak dipengaruhi pemikiran Syekh Baqir yang merupakan penganut mazhab Syafii tulen dan sosok yang terbuka dengan cakrawala keilmuan. Meskipun Syekh Baqir merupakan islam modernis dan keponakan dari Kiai Ahmad Dahlan, beliau tidak pernah memperpanjang perbedaan yang ada. Sebab, yang beliau yakini, perbedaan manusia adalah fitrah. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila keilmuan Syekh Baqir dikitari banyak kalangan, khususnya islam modernis dan islam tradisionalis.
Keteladanan Syekh Baqir kemudian ditiru oleh Kiai Zubair Dahlan, yang dapat merangkul banyak golongan. Halakahnya tidak hanya diikuti oleh kelompok Nahdhliyin, tetapi juga dari kalangan Muhammadiyah. Kultur tradisionalisnya yang sangat kental, tidak membuatnya beku. Beliau justru akrab dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, seperti halnya Kiai Kahar Muzakkar, Kiai Fathurrahman Kafrawi, dan Kiai Wahab Chasbullah.
Melalui Kiai Zubair Dahlan dan Syekh Baqir al-Jogjawi, kita belajar perihal ukhuwah al-islamiyah yang bisa kita lihat dari cara Mbah Mun mengedepankan kerukunan dan kedamaian. Tidak hanya kalangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah yang berkunjung ke kediamannya, kalangan nonmuslim pun silih-ganti berdatangan. Meskipun Syekh Baqir dan Kiai Dahlan sudah meninggal, akan tetapi ruh keilmuannya masih bisa dibaca oleh santri atau kiai yang meriwayatkan sanad keilmuan melalui jalur Kiai Zubair Dahlan. Transmisi keilmuan tersebut masih bersambung dengan Syekh Baqir hingga ke pangkalnya, baik pengarang kitab, atau shahibi al-syari'ah—Nabi Muhammad saw.
Silaturahmi juga dilakukan oleh Kiai Maimun Zubair dengan Nyai Zainab al-Jogjawi, yang merupakan keponakan dari Syekh Baqir. Nyai Zainab al-Jogjawi merupakan cucu dari Kiai Muhammad Nur—yang merupakan guru dari Kiai Ahmad Dahlan. Kiai Nur merupakan seorang ulama yang berpegang teguh pada model pengajaran kitab klasik mazhab Syafii seperti: Taqrib, Fath al-Mu'in, dan Ihya Ulumiddin.
Melihat jemaat yang begitu meluber, Kiai Muhammad Nur mengumumkan bahwa, akan dibangun langgar (musala) yang lebih besar dan kiblatnya akan dibenahi sesuai hasil musyawarah dengan Kiai Dahlan. Tempat ini kemudian disebut dengan Langgar Lor, yang banyak diserbu oleh banyak kalangan, baik santri kalong (tidak menetap) maupun santri mukim yang berasal dari luar Yogyakarta.
Setelah Kiai Nur wafat, perjuangan dilanjutkan oleh Kiai Human. Kiai Human pun akhirnya juga wafat, sehingga estafet pengajaran dilanjutkan oleh putra-putrinya. Salah satu putra-putrinya yang menonjol kealimannya adalah Nyai Zainab al-Jogjawi. Ia sering membersamai ayahnya mengajar, sehingga tidak mengherankan jika ia menjadi sosok yang menonjol dari saudara-saudaranya. Karena kecerdasannya, Nyai Zainab diamanahi mempimpin Langgar Lor yang awalnya bernama "Djam'ijjah Noerijjah"–yang kemudian diganti dengan nama Ar-Rosyad.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1948 M. Perubahan juga terjadi pada bangunan yang lebih megah. Ar-Rosyad kemudian berkembang menjadi pusat pendidikan dengan ruang lingkup khusus keputrian. Karena sikap Nyai Zainab yang netral dalam berorganisasi, maka tidak mengherankan jika kajiannya dihadiri oleh kalangan lintas organisasi masyarakat (ormas), baik kalangan islam tradisionalis maupun islam modernis. Banyak pelajar Muhammadiyah yang juga belajar di Ar-Rosyad.
Keberadaan Ar-Rosyad ini disinyalir sebagai cikal bakal perkembangan madrasah putri di pesantren Tambakberas, yang dikembangkan dan dibawa oleh Mbah Nyai Mas Wardliyah, yang berasal dari Kauman (Yogyakarta). Pada saat itu, Nyai Mas Wardliyah, istri dari Kiai Abdurrahim—adik dari KH Wahab Chasbullah–merasa dilema. Kala itu tidak ada pendidikan bagi perempuan di pesantren Tambakberas. Akhirnya melalui rasa juang yang tinggi, dengan tekun Mbah Mas—panggilan akrab Nyai Mas Wardliyah—mengajar huruf latin di serambi masjid khusus untuk putri, yang kala itu dikenal dengan sebutan "Shifir Putri".
Melalui kesaksian Mbah Nyai Aminatussurur, Mbah Mas Wardliyah dikenal sebagai sosok yang pandai berhitung. Kala itu beliau satu-satunya perempuan Tambakberas yang bisa menghitung berat timbangan padi. Semangat belajar bagi perempuan ini juga didukung penuh oleh Kiai Wahab Chasbullah melalui surat kabar "Suara Nahdhatoel Oelama". Dalam surat kabar tersebut, Kiai Wahab Chasbullah menjelaskan kebolehan wanita untuk menulis dan membaca– merespon pernyataan Kiai Sholeh Darat yang menegaskan bahwa wanita tidak boleh menulis dan membaca.
Seperti yang dilansir pada laman justisia.com, kiprah Mbah Mas dalam perkembangan madrasah putri dijelaskan dengan gamblang. "Berbekal pengalaman sewaktu di Yogyakarta, Mbah Nyai Mas turut membidani model pendidikan berbentuk klasikal yang disebut "Sifr". Di antara beberapa muridnya adalah Hj.Rochiyah, Hj. Masyhuda (PP. Salafiyah Brangkulon) dan Bu Machwijah Salim (Bulak, Mojokrapak). Ini adalah cikal bakal sekolah putri yang kelak menjadi Madrasah Ibtidaiyyah. Di era di mana hanya sedikit perempuan yang punya kesempatan belajar, Mbah Nyai Mas adalah satu di antara yang sedikit itu. Bahkan, Mbah Nyai Mas menjadi guru perempuan yang saat itu sangatlah langka, bahkan bisa dibilang tidak ada. Pelajaran yang diampunya adalah baca tulis huruf Arab, huruf abjad, dan belajar berbicara dengan bahasa Indonesia."
Nyai Zainab al-Jogjawi dan Mbah Nyai Mas Wardliyah adalah dua perempuan hebat yang peninggalan berharganya masih bisa kita rasakan hingga hari ini. Beliau berdua adalah "Kartini" dalam lingkungan pesantren. Semangatnya untuk memberikan kemudahan pendidikan pada kaum perempuan, tentu adalah hal luar biasa yang patut kita teladani. Pada beliau berdua, semangat woman support woman bukanlah isapan jempol belaka.
Referensi:
1. Ulum, Amirul. 2021. Syaikh Baqir Al-Jogjawi: Titik Nun NU-Muhammadiyah. Yogyakarta: Global Press;
2. Keterangan Mbah Nyai Aminatussurur;
3. Justisia.com (https://justisia.com/2022/shifr-putri-mubdil-fan-cikal-bakal-madrasah-perempuan/).
Baca juga tulisan lainnya tentang Tokoh