Fast Fashion dan Petaka yang Luput Kita Sadari

Beberapa orang bahkan tidak ragu untuk membeli baju baru setiap kali akan liburan atau berkegiatan. Alasannya sepele: agar tampilan di instagramnya tidak memakai baju yang itu-itu saja.

· 3 menit untuk membaca
Sumber: unsplash.com

Zawaya.id–Ingar-bingar media sosial membuat kebanyakan dari kita terlecah dalam lubang berharap validasi dari orang lain. Imbasnya, tak sedikit yang mati-matian menampilkan citra diri terbaik lewat akun media sosial, dengan harapan, warganet akan melakukan profiling yang baik atas dirinya—termasuk dalam hal gaya berbusana. Beberapa orang bahkan tidak ragu untuk membeli baju baru setiap kali akan liburan atau berkegiatan. Alasannya sepele dan mungkin agak mengejutkan: agar tampilan di instagramnya tidak memakai baju yang itu-itu saja.

Kondisi psikologis konsumen yang cenderung impulsive buying tersebut ditangkap dengan sangat baik oleh pelaku usaha fashion. Belum lagi, marketplace kita berlomba-lomba memberi diskon dengan memanfaatkan momen-momen atau angka tertentu. "Tumbu ketemu tutup" kalau kata orang Jawa. Jadilah industri fast fashion makin menggurita hampir di seluruh belahan dunia.

Istilah fast fashion industry digunakan untuk menandai industri pakaian yang diproduksi dengan cepat, untuk memenuhi tren sementara, dan dengan biaya yang sangat rendah. Dalam industri ritel, fast fashion sejauh ini masih cukup mendominasi. Pendapatan tahunan yang dihasilkan oleh fast fashion pun menjadikan industri tersebut sebagai pemain utama dalam ekonomi global. Namun, di balik “jasa” industri fast fashion dalam bidang ekonomi, terdapat cukup banyak borok pada aspek lingkungan yang disebabkan oleh geliat industri tersebut.

Dunia pernah dikejutkan oleh hiruk-pikuk fast fashion pada tahun 2013. Rana Plaza, sebuah pabrik garmen di Bangladesh, mengalami tragedi yang cukup memilukan. Seribu pekerja—yang mayoritas adalah kalangan perempuan—meninggal dunia dalam tragedi tersebut. Rana Plaza memproduksi beberapa merek terkenal yang, sayangnya, para pekerjanya mendapatkan upah yang jauh dari kata layak. Ironis sekali!

Kembali ke pembahasan lingkungan. World Meteorological Organization memberikan beberapa prediksi perubahan iklim hingga tahun 2026. Disebutkan bahwa sepanjang lima tahun ke depan, setidaknya kita akan melewati satu tahun dengan suhu tahunan global 1,5 derajat celcius di atas suhu praindustri. Itu artinya, dalam satu di antara lima tahun ke depan, kita akan merasakan suhu yang sangat tinggi, seperti yang kita rasakan belakangan ini—bahkan mungkin panas terparah sepanjang sejarah. Kenaikan suhu ini juga menyebabkan melelehnya beberapa bongkah es di kutub. Salah satu tindakan yang disarankan oleh World Meteorological Organization (WMO) adalah mengurangi produksi emisi karbon.

Fast fashion dalam hal ini, justru sangat jauh dari tindakan yang disarankan oleh World Meteorological Organization (WMO). Menurut United Nation Environment Programme (UNEP), industri tekstil menyumbang emisi karbon sebanyak 8-10% dari total keseluruhan karbon dunia. Selain itu, dalam tahap pewarnaan kain, para pekerja di industri fast fashion akan terpapar oleh zat kimia yang digunakan untuk pewarnaan. Jika dibiarkan dalam jangka panjang, zat kimia tersebut tentu berbahaya untuk kesehatan para pekerja.

Persoalan fast fashion industry selain emisi karbon yang dihasilkan adalah, penggunaan air yang berlebihan. Princeton Student Climate Initiative (PSCI) memaparkan temuan bahwa, untuk mendapatkan satu kilogram kapas dibutuhkan 10.000 liter air. Sedangkan untuk memproduksi sehelai kemeja katun, industri fast fashion membutuhkan 3000 liter air.

Salah satu tahap dalam produksi, yakni pewarnaan kain, juga membutuhkan air yang tidak sedikit. Dalam satu tahun, industri fast fashion membutuhkan 79 juta meter kubik air. Hal itu terasa sangat memilukan, sebab, ada 884 juta orang yang justru kesulitan mendapatkan akses air bersih. Pemborosan air ini pula yang berpotensi meningkatkan dehidrasi.

Biaya produksi yang rendah dari industri ini juga melahirkan dampak negatif selanjutnya. Para pelaku industri fast fashion tentu saja mengamalkan betul prinsip ekonomi: modal minimal, untung maksimal. Pembiayaan yang rendah lazimnya memang memakai bahan baku dengan kualitas rendahan pula. Dalam hal ini, industri fast fashion memilih serat sintetis sebagai bahan bakunya.

Penggunaan serat sintetis itulah yang menciptakan limbah mikroplastik. Ilmuwan memperkirakan industri tekstil menyumbang sebanyak 9% mikroplastik untuk lautan kita. Masalah yang ditimbulkan fast fashion ini seperti mata rantai yang tak berkesudahan. Penumpukan limbah mikroplastik di lautan dapat mengganggu ekosistem perairan—yang juga berujung pada terancamnya kesehatan manusia. Selain “sumbangan” mikroplastik, produksi serat sintetis juga membutuhkan banyak sekali energi.

Selama proses produksi, industri fast fashion lebih banyak menggunakan tenaga dari bahan bakar fosil. Seperti yang kita ketahui, bahan bakar fosil termasuk dalam salah satu jenis energi yang tidak dapat diperbarui. Penggunaan bahan bakar fosil ini, bisa meningkatkan produksi gas rumah kaca, lengkap dengan sederet dampak buruk yang ditimbulkan. Imbas yang paling mudah kita pahami adalah meningkatnya suhu bumi—sehingga prediksi WMO (World Meteorological Organization) soal panas terparah sepanjang tahun itu, sangat mungkin terjadi. Bencana kekeringan dan terganggunya stabilitas ekosistem adalah dua dari banyaknya imbas buruk lain atas produksi gas rumah kaca yang ugal-ugalan.

Kita mungkin saja tak keberatan untuk merogoh kantong demi membeli baju, celana, kerudung, tas, dan sepatu untuk sebuah validasi fashionable. Toh, selama ini kita juga dimanjakan oleh diskon besar-besaran yang sering diberikan penjual. Tapi, sesekali, atau bahkan setiap godaan belanja produk fast fashion itu datang, kita perlu merenungi ucapan Antonio Guterres, sekretaris umum United Nation Environment Programme (UNEP): We must end fossil fuel pollution and accelerate the renewable energy transition, before we incinerate our only home.


Baca juga esai lain atau tulisan-tulisan lainnya dari Hikmah Imroatul Afifah