Zawaya.id–Selain dikenal sebagai salah satu kota tertua di dunia–karena sudah ada sejak 3000 SM–Damaskus juga dikenal sebagai gudangnya para ulama. Pelbagai ulama dari berbagai macam latar belakang telah mewarnai dunia keislaman masa lampau hingga hari ini. Salah seorang ulama tersebut adalah Syekh Qasim Nuri. Beliau merupakan generasi keempat dari murid Syekh Hasan Habannakah rahimahu Allah (Ulama khas dan kandidat Mufti Suriah, sezaman dengan Syekh Ahmad Kaftaro yang merupakan Mufti Suriah). Syekh Hasan Habannakah merupakan ulama yang berfokus pada kajian ilmiah dan keilmuan. Beliau adalah salah satu ulama yang disegani di Suriah dan memiliki manhaj serta madrasah tersendiri.
Menahkik kitab al-Bayan, karya al-Imrani
Syekh Hasan Habannakah memiliki pandangan bahwa ta’lif al-kitab (pengarangan buku/kitab) sudah tidak diperlukan lagi, yang diperlukan adalah ta’lif al-rijal (mengkader orang-orang yang dapat memahami kitab dengan baik). Intinya, beliau menitikberatkan pada kaderisasi ulama.
Syekh Habannakah sendiri hanya menulis beberapa kitab, salah satunya adalah komentar (ta'liq) terhadap kitab "Nihayah al-tadrib". Bagaimanapun, murid-murid beliau terbagi ke dalam dua pandangan yakni, ta’lif al-kitab dan ta’lif al-rijal. Ta’lif al-Kitab sendiri diwarnai oleh murid-murid beliau yang berkecimpung dalam dunia akademisi, seperti, Dr. Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi, Dr. Wahbah Zuhaili, Syekh Mustofa Hin, Syekh Mustafa al-Bugha, Syekh Qasim dan lain sebagainya.
Sedangkan Syekh Shadiq Habannakah, Syekh Kurayim Rajih, Syekh Rusdi Qalam, Syekh Abdul Halim, Syekh Muhammad Sukair beranggapan sudah tidak zamannya lagi ta’lif al-kitab. Mereka lebih menitikberatkan pengaderan orang-orang untuk memahami kitab-kitab yang sudah ada (Ta’lif al-Rijal).
Uniknya, Syekh Qasim Nuri bukanlah murid yang berkecimpung dalam dunia akademisi (kuliah sampai doktoral), tapi beliau sangat peduli terhadap kepengarangan; sangat memerhatikan dan berkonsentrasi dalam dunia kepenulisan, serta memiliki karya-karya monumental, terutama yang berkaitan dengan tahkik. Beliau merupakan muhaqqiq yang telah menahkik puluhan bahkan ratusan kitab, salah satunya adalah kitab al-Bayan.
Kitab "al-Bayan fi madzhab al-Imam al-Syafi’i" adalah anggitan Abi al-Husain Yahya bin Abi al-Khoir bin Salim al-Imrani al-Syafi’i al-Yamani atau masyhur dengan sebutan al-Imrani. Kitab ini merupakan salah satu kitab penting dalam mazhab Syafi’i. Kitab ini adalah syarah (keterangan/komentar) dari kitab "al-Muhadzab", karya Imam Abu Ishaq al-Sirozi.
Kitab "al-Muhadzab" sendiri adalah ringkasan (mukhtasar) dari kitab "al-ta’liqah"-nya Abi Thayyib al-Thabari. "Al-Ta’liqah" ini adalah kitab yang berisi keterangan atau syarah yang sangat besar dari kitab "Mukhtasar al-Muzani". Jadi, kitab "al-Muhadzab" adalah salah satu kitab yang paling penting. Kenapa kitab ini menjadi salah satu kitab penting? Karena yang mensyarahi kitab ini adalah Imam al-Imrani (kitab al-Bayan) dan Imam Nawawi (Kitab Majmu’).
Kelebihan kitab "al-Bayan" adalah lengkapnya syarahnya dalam mensyarahi kitab "Al-Muhadzab". Berbeda dengan kitab "al-Majmu’"-nya Imam Nawawi yang belum sempurna, karena beliau keburu wafat. Yang kedua, di dalam kitab "al-Bayan" tidak hanya terdapat pendapat-pendapat mazhab Syafi’i, tapi juga pendapat mazhab lain. Para ulama bilang bahwa kitab "al-Bayan" adalah Mausu’ah al-Fiqhiyyah (Ensiklopedi Fikih) atau Fiqh Muqaran karena di dalamnya terdapat mazhab Sahabat, Tabi’in dan mazhab-mazhab lain. Selain itu, Ibarah dalam kitab "al-Bayan" tidak susah dan mudah dipahami.
Ketika Syekh Qasim Nuri menyelesaikan tahkiknya terhadap kitab "al-Bayan" (sebanyak empat belas jilid), Syekh Hasan Hito (Ulama Fikih dan Ushul Fikih Suriah yang sekarang berdomisili di Indonesia, tepatnya di STAI Imam Syafi’i Cianjur, pengarang kitab "Khulasha al-Ushul Fiqh") langsung sujud syukur dan menelepon Syekh Qasim; mengucapkan terima kasih kepada syekh Qasim karena belum ada kitab tahkik semonumental karangan beliau. Beliau sangat bersyukur kitab ini bisa keluar dengan tahqiq yang benar-benar haq-nya. Produktivitas ini tak terlepas dari bakti dan keistikamahan beliau terhadap guru.
Mulazamah terhadap Guru
Syekh Qasim Nuri sangat konsisten dalam bermulazamah kepada guru. Beliau tak akan membiarkan sehari pun untuk absen dari majelis gurunya, Syekh Hasan Habannakah. Begitu pula dengan majelis adik beliau (Syekh Shadiq Habannakah). Suatu ketika, Ayah Syekh Qasim wafat di pagi hari, tetapi hal itu tak menghalangi beliau dalam mengaji. Terbukti, siangnya beliau langsung bermulazamah pada gurunya Syekh Hasan Habannakah, untuk menjaga keistikamahan beliau dalam mengaji. Mulazamah inilah yang menjadi rahasia keberkahan ilmu beliau.
Dari teladan keistikamahan Syekh Qasim tersebut, dapat kita pelajari bahwa peran dan berkah guru merupakan jalan utama dalam menuntut ilmu. Keberkahan dan kemanfaatan ilmu kita bergantung seberapa besar kita berbakti pada guru. Begitulah seharusnya perilaku pelajar ilmu (khususnya ilmu agama) yang hakiki. Di antara kita–yang menyebut dirinya pencari ilmu–banyak yang kurang memaknai esensi tersirat yang telah disampaikan ulama-ulama khas terhadap hal ini. Kendati demikian, terus berbenah dan belajar sungguh-sungguh serta taat pada guru merupakan hal yang wajib dan fardu ain bagi kita semua.
ثبُاَتُ العِلْمِ بِالمُذَاكَرَةِ وَبَرَكَتُهُ باِلخِدْمَةِ وَنَفْعِهِ برِضَا الشَّيْخِ
"'Kuatnya ilmu dengan mengulang-ulang, barakahnya dengan khidmah, dan kemanfaatnanya dengan rida guru,'" pesan Abuya Sayid Muhammad Alawi Al-Maliki
Wa Allahu a’lam bi al-Showab.
Tabik!
Ditulis oleh berdasarkan hasil wawancara dengan, Habib el-Rahman, murid Syekh Qasim Nuri
Baca juga tulisan tentang tokoh-tokoh dan artikel terkait Suriah yang lain.